Wakil Presiden Ma'ruf Amin minta Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mempersempit ruang gerak seluruh kepala daerah untuk melakukan korupsi.
Hal ini disampaikan Ma'ruf saat memberikan sambutan penutupan dalam acara Aksi Nasional Pencegahan Korupsi yang digelar KPK melalui siaran langsung di kanal YouTube KPK, Rabu (26/8).
"Persempit ruang gerak dan celah korupsi, terutama bagi kepala daerah," kata Ma'ruf.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tak hanya itu, Ma'ruf juga meminta Tito membangun mekanisme pengawasan dan pendampingan pelaksanaan aksi Strategi Nasional Pemberantasan Korupsi di seluruh daerah.
Ma'ruf meminta hal itu lantaran data KPK Desember 2019 lalu menunjukkan ada 127 kasus korupsi yang pelakunya didominasi kepala daerah.
"Masih tingginya tindak pidana korupsi tersebut menjadi pelajaran bagi kita semua bahwa sistem pencegahan korupsi harus lebih mampu menutup celah dan peluang terjadinya korupsi," kata dia.
Selain itu, Ma'ruf turut mengapresiasi KPK yang berupaya menutup ruang gerak korupsi selama ini. Hal itu lantas berimbas pada Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2019 yang meningkat dua poin, dari 38 menjadi 40.
Ma'ruf meminta semua pihak tidak berpuas diri. Sebab, posisi Indonesia masih berada di peringkat 85 dari 180 negara berdasarkan IPK, serta peringkat ke-4 di lingkungan ASEAN, setelah Singapura, Brunei Darussalam, dan Malaysia.
"Stranas harus benar-benar dilaksanakan. Tidak hanya sekedar pemenuhan administrasi dan hanya menjadi sebuah dokumen. Akan tetapi semangat anti korupsinya harus diinternalisasikan oleh seluruh individu dalam lingkungan birokrasi," kata Ma'ruf.
Sebelumnya, Tito sempat menyinggung bahwa hampir semua kepala daerah berpotensi melakukan korupsi pada medio November 2019 lalu. Tito mengatakan modal untuk menjadi kepala daerah tidak sebanding dengan gaji yang diterima selama menjabat lima tahun.
"Bayangkan, dia mau jadi kepala daerah, mau jadi bupati itu Rp30 miliar, Rp50 miliar, (sementara) gaji Rp100 juta, taruhlah Rp200 juta, kali 12 [bulan] itu Rp2,4 miliar, kali lima tahun itu Rp12 miliar, yang keluar Rp30 miliar, rugi enggak?" kata Tito.
Sementara itu, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menilai tolok ukur keberhasilan seorang kepala daerah tidak bisa hanya berdasarkan opini audit laporan keuangan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) saja.
Menurut dia, penurunan angka kemiskinan yang ditandai dengan menurunnya jumlah penerima bantuan sosial (bansos) dan subsidi seharusnya juga menjadi tolok ukur keberhasilan seorang kepala daerah. Dengan syarat, data penerima bansos dan subsidi sudah akurat dan diperbaharui secara berkala.
"Seharusnya kriteria keberhasilan seorang kepala daerah itu bisa diukur juga dari besar kecilnya alokasi anggaran untuk subsidi atau bansos setiap tahun," kata Alex dalam diskusi yang sama.
Alex mengatakan kepala daerah dianggap gagal menekan angka kemiskinan jika alokasi anggaran bansos dan subsidi terus bertambah. Sebab, membesarnya anggaran bansos dan subsidi menandakan jumlah penduduk miskin yang bertambah.
"Dengan ketentuan kriterianya jelas siapa yang berhak menerima subsidi dan bantuan sosial. Itu harus jelas yang berhak dapat subsidi," ujarnya.
Menurut Alex, seorang kepala daerah yang berhasil menurunkan angka kemiskinan sudah sepatutnya mendapatkan apresiasi berupa insentif.
"Kalau kepala daerahnya berhasil menurunkan kemiskinan, saya kira laik dan pantas diberikan insentif. Jangan hanya yang laporan keuangannya WTP [Wajar Tanpa Pengecualian]. Kan tujuannya untuk mensejahterakan masyarakat," tandasnya.
Ia melanjutkan berdasarkan kajian KPK masih ditemukan subsidi yang tidak tepat sasaran. Satu di antaranya adalah soal gas melon.
"Misalnya subsidi gas melon yang hijau itu. Itu kan subsidinya disalurkan bukan ke penduduk langsung yang berhak, tetapi ke industrinya. Jadi, siapa pun boleh beli gas melon. Tetapi kan jelas bahwa gas melon adalah gas bersubsidi yang seharusnya berhak membeli masyarakat yang miskin," ungkapnya.
Berdasarkan hal tersebut, Alex meminta agar pemerintah daerah secara berkala memperbaharui data masyarakat penerima bansos dan subsidi yang dipadankan dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK). Selain itu, ia berharap juga agar subsidi bisa diberikan secara tunai.
"Dengan akurasi data kita berharap yang dipadankan dengan NIK kita bisa mengidentifikasi masyarakat yang berhak menerima subsidi, itu tujuannya.
Jadi, pemda kita berharap setiap 3 apa 6 bulan itu harus ada update terhadap data-data penduduk yang berhak menerima subsidi dan bantuan sosial itu," tuturnya.