Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menolak nota keberatan atau eksepsi penasihat hukum Terdakwa Inspektur Jenderal (Irjen) Napoleon Bonaparte.
Majelis hakim memerintahkan agar perkara penghapusan nama buronan Djoko S Tjandra dari daftar pencarian orang (DPO) yang menjerat Napoleon dilanjutkan dengan agenda pemeriksaan saksi-saksi.
"Menyatakan eksepsi penasihat hukum Terdakwa Napoleon Bonaparte tidak dapat diterima," ujar Hakim Ketua Muhammad Damis saat membacakan amar putusan sela di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (23/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam pertimbangannya, hakim menilai surat dakwaan yang disusun jaksa penuntut umum sah menurut hukum. Atas dasar itu pula, hakim memerintahkan penuntut umum untuk melanjutkan pemeriksaan perkara tersebut.
Sementara itu, penasihat hukum Napoleon mengatakan menerima putusan sela tersebut dan meminta agar sidang segera dilanjutkan ke pemeriksaan pokok perkara.
"Mohon dilanjutkan dengan pokok perkara pemeriksaannya," kata penasihat hukum Napoleon, Santrawan T Pangarang.
Sedangkan jaksa penuntut umum meminta waktu 7 hari untuk dapat menghadirkan sejumlah saksi.
Sebelumnya tim penasihat hukum Napoleon mengatakan perkara yang menjerat kliennya merupakan rekayasa. Mereka menyinggung sejumlah catatan kuitansi tanda terima uang yang tidak secara jelas menyebutkan maksud dari pemberian uang sebesar Sin$200 ribu dan US$270 ribu dari Djoko Tjandra.
Dengan tidak adanya penjelasan mengenai maksud pemberian uang, menurutnya, maka penyidik Bareskrim Polri dan Jaksa Penuntut Umum tidak bisa menafsirkan seolah-olah uang diberikan agar Napoleon selaku mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadivhubinter) Mabes Polri menghapus daftar buronan Djoko Tjandra.
Sementara Napoleon mengaku dizalimi oleh pejabat negara atas perkara yang menjeratnya. Ia berpendapat bahwa DPO bukan merupakan kewenangannya selaku mantan Kadivhubinter Mabes Polri.
Lagi pula, kata dia, status red notice atas nama Djoko Tjandra nomor: A-1897/7-2009 telah terhapus dari sistem basis data Interpol sejak 2014 karena tidak ada perpanjangan dari Kejaksaan RI sebagai lembaga peminta.
"Saya merasa dizalimi melalui teks oleh pemberitaan statement pejabat negara yang salah tentang tuduhan menghapus red notice," kata Napoleon dalam persidangan, Senin (9/11).
Napoleon didakwa menerima suap sebesar Sin$200 ribu dan US$270 ribu atau sekitar Rp6 miliar dari terpidana korupsi hak tagih (cessie) Bank Bali, Djoko Tjandra, melalui pengusaha Tommy Sumardi.
Suap itu dimaksudkan agar Napoleon menghapus nama Djoko Tjandra dari Daftar Pencarian Orang (DPO) yang tercatat di Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM.
(ryn/kid)