Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo mengklaim bahwa kebijakan ekspor benih lobster atau benur tidak dibuat semata-mata untuk menguntungkan dirinya maupun Partai Gerindra.
Hal itu ia utarakan dalam sesi 'Special Interview: Edhy Prabowo Menjawab' CNN Indonesia TV, Minggu, 27 Juli 2020.
"Oh iya saya pikir kan begini, jangan hanya karena ada 1-2 orang yang ada korelasi dengan Gerindra terus dianggap bahwa saya merasa diuntungkan," ucap Edhy.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Edhy mengatakan memang perusahaan eksportir Hashim Sujono Djojohadikusumo, adik Menteri Pertahanan sekaligus Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, mengajukan permohonan izin sebagai eksportir.
Hanya saja, Edhy mengaku baru mengetahui ada nama Hashim dalam perusahaan yang mengajukan izin eksportir setelah pendaftaran. Ia berujar hal tersebut jauh dari konflik kepentingan.
"Saya lihat ada pak Hashim dan grupnya satu perusahaan, pak Iwan [Iwan Darmawan, Wakil Ketua Komisi Infrastruktur DPR dari Fraksi Partai Gerindra]. Itu pun saya tahunya begitu mereka mendaftar," kata Edhy.
Politikus Gerindra itu menegaskan bahwa dirinya tak pernah memihak siapa pun termasuk orang-orang di lingkaran partainya terkait urusan izin ekspor benih lobster.
"Saya dasarnya bukan keberpihakan. Keberpihakan pada nelayan ini. Perusahaannya siapa saja, bahkan sekarang sudah ada 31 perusahaan, bahkan lebih," tutur dia kala itu.
Edhy menyampaikan, izin bagi perusahaan eksportir telah melewati sejumlah tahapan prosedur baku. Ia menjelaskan, kementeriannya membuka kesempatan yang sama bagi seluruh perusahaan yang menginginkan mengajukan izin.
Hanya saja, terang dia, ada kriteria yang harus dipenuhi seperti di antaranya adalah perusahaan harus memiliki sarana budi daya lobster.
"Budi daya, kemudian daerah tangkap supaya enggak tumpang tindih. Yang paling penting adalah mengkoordinasi nelayan. Mereka harus punya kelompok nelayan, di mana mereka ini akan operasi. Supaya apa? Kepastian ini jangan nanti setelah saya keluarkan izin ke pelaku usaha si nelayan ini malah teriak-teriak karena enggak dibayar, karena ngambil lobster," sebut Edhy.
Ia menegaskan bahwa kebijakan yang dimulai dengan membuka keran ekspor benih lobster pada kurun Mei lalu itu sama sekali tidak menguntungkan dirinya selaku menteri sekaligus petinggi Partai Gerindra.
"Kalau tadi ditanya saya ada konflik atau menguntungkan. Menguntungkan apa? Saya enggak ada bisnis kok di sektor perikanan, lobster, saya enggak ada sejarah bisnis di kerapu, saya enggak ada sejarah bisnis di sektor.. saya enggak punya kapal tangkap, saya enggak punya perusahaan itu," tegasnya.
Kebijakan penetapan izin ekspor benih lobster ini sempat menuai polemik. Menteri KKP sebelumnya, Susi Pudjiastuti bahkan secara tegas melarang praktik tersebut.
Hal itu tertuang melalui Peraturan Menteri KKP Nomor 56 Tahun 2016 tentang Penangkapan Lobster, yang melarang perdagangan benih lobster dan lobster berukuran kurang dari 200 gram ke luar negeri.
Dalam perjalanannya, Edhy kini menjadi tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), buntut dari kasus dugaan rasuah penetapan izin ekspor benih lobster.
Ia ditetapkan sebagai tersangka bersama enam orang lainnya. Yakni stafsus Menteri KKP, Safri dan Andreau Pribadi Misata; Pengurus PT ACK, Siswadi; staf istri Menteri KKP, Ainul Faqih; Amiril Mukminin; dan Direktur PT DPP, Suharjito.
(ryn/psp)