Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiwa (BEM KM) Universitas Andalas menyatakan menolak Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).
Mereka meminta DPR mengeluarkan rancangan regulasi itu dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021 dan menghentikan pembahasannya.
Dalam naskah kajian yang dibagikan melalui akun media sosial yang telah dikonfirmasi CNNIndonesia.com, BEM Unand menilai ada sekitar 14 pasal berdasarkan draf RUU PKS Tahun 2017 yang bermasalah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain pasal, mereka juga mempermasalahkan judul RUU PKS. Menurut mereka, terminologi kekerasan seksual terlalu sempit untuk memaknai permasalahan seksualitas di Indonesia.
Kekerasan seksual, kata mereka, hanya bagian kecil dari lingkup permasalahan seksualitas di Indonesia.
"Dalam hukum pidana, delik yang dikenal untuk menamakan suatu tindak pidana adalah terminologi Kejahatan/Crime, maka 'kejahatan' lebih tepat digunakan daripada 'kekerasan' sebagai istilah perujuk/pokok dalam suatu tindak pidana," tulis BEM KM Unand dalam naskah kajian mereka yang dikutip, Jumat (27/11).
Di antara pasal yang dianggap bermasalah adalah Pasal 1 angka 1. Menurut mereka, frasa "dan/atau perbuatan lainnya" sangat multitafsir, karena dapat memberikan perluasan perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai kekerasan seksual dan bisa dijadikan senjata untuk mengkriminalisasi seseorang.
Selain itu, mereka menilai frasa "hasrat seksual seseorang" bersifat luas, karena melegitimasi hasrat seksual yang dimiliki oleh kaum dengan orientasi seksual sesama jenis dan kelainan seksual.
Mereka juga menilai frasa "tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas" menandakan bahwa perbuatan seksual yang tidak dikehendaki dalam RUU ini adalah tindak pidana yang dilakukan atas dasar paksaan.
"Lalu bagaimana yang dilakukan sex by consent, seperti pelacuran, perzinahan, dll? Secara tidak langsung RUU ini menghendaki perbuatan tersebut," tulis BEM Unand.
![]() |
Lebih lanjut, dalam kajiannya, BEM Unand juga menilai pasal 11 RUU PKS bermasalah. Menurut mereka, jenis tindak pidana yang masuk dalam ruang lingkup di RUU P-KS adalah tindakan seksual atas dasar paksaan saja, namun mengabaikan persoalan inti seksualitas dalam masyarakat.
Dari segi ketahanan keluarga, mereka menilai naskah akademik dan RUU ini tidak memberi perhatian untuk mengakomodasi institusi keluarga di Indonesia yang hidup dengan nilai-nilai konvensional.
Naskah Akademik RUU itu, kata mereka, juga tidak menjadikan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai acuan dalam mengelaborasi landasan yuridisnya.
"Padahal UU Perkawinan menjadi dasar pembentukan keluarga Indonesia yang di dalamnya mengatur hubungan suami-istri termasuk pasal yang mengatakan bahwa laki-laki sebagai kepala keluarga," tulis mereka.
Mereka juga menyebut bahwa RUU PKS tidak sejalan dengan falsafah adat Minangkabau yakni "Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah".
"RUU PKS menjadikan paham feminisme dan liberal sebagai landasan ideologi sebagaimana yang tercantum dalam naskah akademiknya. Tentunya hal ini bertentangan falsafah Minangkabau," tulis BEM Unand.
Menurut mereka, jika RUU PKS tidak disahkan, tetap ada UU lain yang bisa mengakomodasi kasus-kasus yang terjadi seperti, KUHP, UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, UU Tindak Pidana Perdagangan Orang, hingga UU Perlindungan Anak.
"Penegakan hukum terkait kasus kejahatan seksual ini memang belum optimal. Problem dalam procedural justice menjadi masalah kita bersama. Dengan seperangkat UU yang sudah ada telah memberikan kepada kita semua terkait permasalahan kejahatan seksual," tulis kajian mereka.
BEM Unand menegaskan bahwa penolakan terhadap RUU PKS bukan berarti menyetujui perkosaan.
Namun RUU itu semestinya menjadi payung hukum pada pokok permasalahan kejahatan seksual alih-alih liberalisasi seksual yang mengabaikan norma agama dan jati diri bangsa Indonesia.
Diketahui, berdasarkan dokumen yang diterima CNNIndonesia.com, ada 26 RUU usulan DPR yang akan masuk dalam daftar Prolegnas Prioritas 2021 termasuk RUU PKS.
Namun pembahasan kemudian ditunda lantaran adaa tiga RUU yang pembahasannya alot yakni RUU Ketahanan Keluarga, RUU Bank Indonesia (BI), dan RUU Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP) atau yang dulunya bernama RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP).
(pris/yoa/psp)