Tiga orang ibu meminta Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan ketentuan dalam UU Narkotika karena dinilai melarang penggunaan ganja untuk keperluan pengobatan anak mereka yang mengalami kelainan otak.
Hal itu terungkap dalam sidang perdana pengujian materiil UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dengan agenda pemeriksaan pendahuluan, di Gedung MK, Jakarta, Rabu (16/12).
Dalam sidang perkara No. 106/PUU-XVIII/2020, pihak pemohon meminta agar MK mengizinkan penggunaan ganja dan narkotika golongan I lainnya untuk kebutuhan kesehatan atau terapi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami meminta mahkamah untuk (...) menyatakan penjelasan Pasal 6 Ayat 1 huruf a UU tentang narkotika bertentangan dengan pasal 28C ayat 1 dan Pasal 28H ayat 1 UUD 1945," ungkap kuasa hukum pihak pemohon, Maruf dalam sidang yang digelar secara virtual.
"Sepanjang tidak dibaca dalam ketentuan ini yang dimaksud narkotika golongan I adalah narkotika yang dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan pelayanan kesehatan dan/atau terapi serta memiliki potensi sangat tinggi melibatkan ketergantungan," lanjutnya.
Pemohon meminta Pasal 6 Ayat 1 huruf a UU Narkotika juga dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dibaca seperti yang ia sebut.
Maruf juga meminta MK menyatakan Pasal 8 ayat 1 UU Narkotika bertentangan dengan Pasal 28C ayat 1 dan Pasal 28H ayat 1 UUD 1945, serta tidak memiliki kekuatan hukum.
Merujuk pada UU Narkotika, Pasal 6 mengatur terkait jenis-jenis narkotika yang dibagi menjadi tiga golongan. Sedangkan Pasal 8 mengatur pembatasan penggunaan narkotika golongan I.
"Narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan," tulis ayat 1 Pasal 8.
Pengujian materiil ini diajukan oleh enam pemohon, dimana tiga diantaranya adalah ibu dari anak dengan kelainan otak. Ketiganya menginginkan anak mereka bisa diterapi menggunakan minyak ganja.
Pemohon I, Dwi Pertiwi adalah seorang ibu dengan anak yang menderita cerebral palsy atau kelumpuhan pada otak sejak usia 40 hari. Ia sempat mengobati anaknya ke Australia dengan terapi minyak ganja.
Selama satu setengah bulan rutin mengikuti terapi, anaknya mengalami peningkatan kondisi kesehatan yang signifikan. Sebelum diterapi, anaknya mengalami kejang seminggu sekali dan memiliki otot yang sangat kaku hingga sulit diterapi.
Sang anak juga tidak bisa berkembang seperti anak pada umumnya, sehingga harus bergantung pada orang lain selama 24 jam untuk melakukan kegiatan sehari-hari.
Meskipun sempat mendapati perkembangan yang baik pada kesehatan anaknya, Dwi tak bisa melanjutkan terapi ini di Indonesia karena batasan perundang-undangan. Ia pun juga terkendala ekonomi untuk terus berobat ke Australia.
Senada, pemohon II Santi Warastuti menyebut anaknya menderita Japanese Encephalitis, yakni kondisi infeksi yang menyebabkan pembengkakan otak.
![]() |
Sementara, anak dari pemohon III Nafiah Murhayanti memiliki kondisi bernama Spastic Diplegia yang merupakan bagian dari cerebral palsy. Karena kondisi ini, sang anak yang sudah berusia 10 tahun masih harus memakai popok dan tidak mampu berkomunikasi.
Tak seperti Dwi, Santi dan Nafiah tak pernah memberikan anaknya terapi minyak ganja karena keterbatasan ekonomi dan terganjal hukum. Namun, keduanya ingin memberikan terapi tersebut untuk membantu perkembangan kesehatan anaknya.
Maruf mengatakan adanya aturan pada Pasal 6 dan Pasal 8 UU Narkotika memberikan kerugian konstitusional kepada ketiga kliennya secara aktual. Ia juga menjabarkan sejumlah dalil yang dipercaya bisa memperkuat argumentasi pihaknya.
Misalnya, ketentuan pada Pasal 4 huruf a UU Narkotika yang menyebut bahwa aturan tersebut bertujuan menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu teknologi.
Begitu juga dengan Pasal 7 yang menyebut narkotika bisa digunakan untuk pelayanan kesehatan. Namun hal itu jadi tidak mungkin dilakukan terhadap ganja yang masuk narkotika golongan I. Sebab, ada aturan pada Pasal 6 ayat 1 dan Pasal 8 ayat 1.
"Padahal telah ada fakta saat ini tanaman ganja dan zat-zatnya seperti CBD (kanabioid) yang termasuk dalam narkotika golongan I di Indonesia telah digunakan secara sah dan diakui secara hukum sebagai bagian dari pelayanan kesehatan setidaknya di 40 negara," imbuh Maruf.
Ketua Majelis Hakim Suhartoyo pun menyatakan menerima permohonan tersebut. Namun ia memberikan kesempatan bagi pihak pemohon memperbaiki permohonannya sampai Selasa (29/12).
Sebelumnya, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah merestui rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) soal penghapusan ganja dalam kategori obat paling berbahaya. Penggunaan ganja untuk tujuan medis pun didukung.
![]() |
Anggota DPR RI Fraksi PKS Rafli Kande mengatakan langkah tersebut bisa membuka ruang penelitian lebih dalam terkait penggunaan ganja untuk keperluan medis.
Menurutnya, langkah Indonesia dalam melegalisasi ganja bisa diupayakan melalui pembuatan regulasi yang baik dan ketat. Ia mengaku sudah mendorong hal tersebut di parlemen.
(fey/arh)