Direktur Eksekutif Yayasan Indonesia Cerah Adhityani Putri mengatakan pemerintah seharusnya lebih agresif mewujudkan komitmen dalam menekan perubahan iklim melalui penurunan emisi gas rumah kaca.
Salah satunya, dengan mengupayakan pergeseran energi ke sumber daya nonfosil. Namun langkah ini menurutnya sulit dilakukan pemerintah karena ketergantungan terhadap batu bara yang menjadi sumber Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
"Indonesia sulit beralih dari batu bara karena bukan hanya merupakan konsumen batu bara, tetapi juga merupakan produsen batu bara. Sehingga terdapat banyak sekali kepentingan bisnis dan politik yang ingin melanggengkan industri ini," kata dia kepada CNNIndonesia.com, Rabu (23/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketergantungan ini, sambung dia, dapat dilihat dari langkah pemerintah yang terus mendorong pembangunan PLTU dan hilirisasi batu bara, meskipun industri ini dinilai sudah sekarat.
Ia mencatat PT PLN Persero saat ini sedang mengembangkan proyek PLTU setara 12 gigawatt yang bakal menyumbang terhadap produksi emisi. Imbasnya akan berdampak negatif terhadap krisis iklim.
Sementara dampak perubahan iklim kian hari semakin nyata menurut Adhityani. Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim menekankan dunia hanya punya satu dekade sebelum menghabiskan anggaran karbon.
"Artinya waktu kita tidak banyak untuk berubah. Indonesia sudah banyak merasakan dampak negatif dari perubahan iklim. Kekeringan dan cuaca ekstrim mulai berdampak pada produksi pangan kita. Kenaikan permukaan air laut akan menenggelamkan kota-kota pesisir Indonesia. Kebakaran hutan berkepanjangan," ujarnya.
Ia menilai pemerintah seharusnya bisa berupaya mengembangkan energi terbarukan dengan lebih ambisius. Menurutnya, tidak ada lagi alasan yang kuat untuk mempertahankan PLTU jika berkaca pada dampaknya.
Adhityani mengatakan kemampuan mendorong energi terbarukan di Indonesia juga terbukti dengan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PTLB) Sidrap di Sulawesi Selatan dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Cirata di Jawa Barat.
Melalui studi yang diterbitkan pada September 2020, Greenpeace mengungkap upaya Indonesia melakukan transisi energi untuk melawan kenaikan suhu hingga 1,5 derajat celcius masih kalah jauh dari negara Asia Tenggara lainnya.
Penemuan ini diungkap dalam studi berjudul "Southeast Asia Power Sector Scorecard" yang menganalisa komitmen perubahan iklim dan kebijakan energi di delapan negara Asia Tenggara.
Dalam studi itu, Indonesia diberi nilai F, terburuk dari semua negara. Pasalnya, tidak ada usaha keras yang dilakukan pemerintah untuk menggeser kebutuhan energi fosil ke terbarukan.
Ini diduga karena para elit di industri batu bara menjadi penyebab yang menghalangi transisi ke energi terbarukan. Kelebihan kapasitas batu bara dan subsidi PLTU juga menghalangi pembangunan PLTS dan PLTB.
"Pengenalan omnibus law UU Cipta Kerja dan UU Mineral dan Batu Bara yang baru akan semakin mengurangi perlindungan lingkungan dan sosial Indonesia, termasuk memperburuk penilaian dampak lingkungan yang sudah lemah," tulis studi tersebut.
Dengan rekam jejak seperti ini, Greenpeace ragu Indonesia bisa mencapai target dalam menekan kenaikan suhu hingga 1,5 derajat maupun ambisi penurunan emisi.
(fey/pmg)