Pegiat lingkungan Greenpeace Indonesia Dinar Bayu mengungkap puluhan nelayan di kampung Roban Timur, Batang, Jawa Tengah, menemukan bongkahan batu bara di jaring mereka ketika menangkap ikan sejak Kamis (17/12).
"Puluhan nelayan [mengeluh] setiap mereka angkat jaring yang sampai di atas perahu mereka kebanyakan batu bara itu," ceritanya kepada CNNIndonesia.com melalui sambungan telepon, Selasa (22/12).
Bongkahan batu bara tersebut diduga datang dari aktivitas PLTU Batang yang belum beroperasi sepenuhnya, namun sudah melakukan uji coba. Ia mengatakan sejak dalam proses pembangunan PLTU nelayan setempat sudah mendapati dampak negatif.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Misalnya, pembangunan jetty port & conveyor system yang merupakan tempat berlabuhnya kapal tongkang yang membawa batu bara. Ketika dibangun, kata dia, terumbu karang di sana banyak yang dirusak dan limbahnya pun dibuang sembarangan ke laut.
Menurut kesaksian Dinar, nelayan sudah berupaya mengadukan kondisi ini ke pemerintah desa. Namun hingga saat ini, pihak PLTU maupun perusahaan yang mengelola--PT Bhimasena Power Indonesia--tidak berupaya bertanggung jawab atas insiden bongkahan batu bara yang ditemukan nelayan.
"Dari awal pembangunan PLTU ini enggak ada transparansinya ke masyarakat. Bahkan ketika sosialisasi awal mau bangun PLTU mereka (masyarakat) dibohongi. Bilang mau bangun pabrik sepatu, pabrik kecap," tuturnya.
"Ketika mengungkap mau bangun pabrik PLTU yang diundang hanya masyarakat yang pro. Yang menolak mereka nggak diperbolehkan datang. Bahkan rumah mereka dijaga aparat sehingga tidak bisa keluar menyampaikan pendapat," tambahnya lagi.
Dikonfirmasi terpisah, General Manager Community & Goverment Relations PT Bhimasena Power Indonesia Ary Wibowo menjelaskan aktivitas pengiriman batu bara di PLTU Batang sangat terbatas, karena proyek masih dalam pembangunan.
Ia mengatakan kawasan PLTU Batang berada di sekitar 2,5 kilometer dari bibir pantai yang digunakan sebagai kawasan pelabuhan khusus, sehingga tidak mengganggu nelayan.
"Untuk itu, alat bantu navigasi pelayaran telah dipasang dan dimonitor secara rutin agar memudahkan para nelayan ataupun pengguna perairan lainnya untuk tidak memasuki dan melakukan aktifitas di kawasan steril tersebut maupun alur pelayaran yang sudah ditetapkan," kata dia melalui email kepada CNNIndonesia.com.
Ary menegaskan pihaknya berkomitmen melestarikan lingkungan laut dan telah membangun rumah ikan di sejumlah titik di perairan Ujungnegoro hingga Roban dengan melibatkan nelayan di sekitar proyek.
Menanggapi kasus ini, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menduga jaring nelayan itu berjenis cantrang yang mengeruk dasar laut. Pasalnya, batu bara tak terapung di perairan.
"Jaringnya pasti cantrang/arad/pukat/trawl yang menggaruk dasar laut. Jd yang merusak laut bukan cuma satu hal tapi banyak hal dan banyak pihak," komentarnya.
Mata Pencaharian Nelayan
Masalah serupa juga dialami nelayan di Jawa Barat, tepatnya di Cirebon dan Indramayu. Direktur Ekskutif Walhi Jawa Barat Meiki Paendong mengatakan di kedua wilayah itu kerusakan jaring karena kapal tongkang jadi persoalan sehari-sehari nelayan.
Terdapat satu PLTU yang kini sudah beroperasi di Cirebon, yakni PLTU Cirebon 1. Sedangkan PLTU Cirebon 2 dan PLTU Tanjung Jati A sedang dalam proses pembangunan.
![]() |
Di Indramayu, ada satu PLTU yang sudah beroprasi yaitu PLTU Indramayu 1. Dan yang sedang dalam proses pembangunan ada satu, yakni PLTU Indramayu 2.
Dengan PLTU yang sudah beroperasi saja, kata dia, mata pencaharian nelayan sudah banyak terganggun karena aktivitas kapal yang hilir mudik dan pencemaran dari limbah yang dibuang ke laut.
"Karena ada PLTU, ada gangguan-gangguan, mereka (nelayan) ingin bebas, akhirnya jadi semakin jauh ke tengah. Dampaknya biaya operasional meningkat, ongkos bahan bakar, waktu," ungkapnya kepada CNNIndonesia.com.
Semenjak ada PLTU di wilayah mata pencaharian mereka, Meiki mengatakan hasil tangkap ikan nelayan berkurang. Diduga, ini karena dampak dari limbah yang disebabkan oleh aktivitas PLTU.
Lihat juga:Jokowi Ingin Setop Ekspor Batu Bara Mentah |
Ia pun khawatir dampak sosial dan lingkungan di wilayah tersebut kian meningkat jika tiga PLTU lainnya sudah beroperasi.
"Kami menolak pembangkit-pembangkit listrik tenaga uap batu bara ini. Karena selain jejak ekologinya itu besar, sejar dari pertambangan sampai ke hilir. Lalu PLTU juga berdampak pada kualitas udara, hilangnya lahan budidaya dan semakin sempit wilayah tangkap nelayan," tambahnya.
Sebelumnya, Greenpeace Indonesia juga menyoroti peran PLTU sebagai salah satu sektor penyumbang emisi terbesar. Bila semua PLTU yang sedang dibangun sudah beroperasi, diproyeksi pada 2080 ada total kapasitas 55 gigawatt yang menyumbang 330 juta ton emisi per tahun.
Ini dinilai tidak sinkron dengan ambisi pemerintah dan dunia untuk menekan krisis iklim dan mengurangi produksi emisi secara signifikan.
(fey/arh)