Seorang saksi kasus korupsi megaproyek pengadaan KTP-elektronik (e-KTP), Johannes Marliem, meninggal di Amerika Serikat pada Jumat, 11 Agustus 2017.
Penyedia produk alat pengenal sidik jari atau automated finger print identification system (AFIS) merek L-1 yang digunakan dalam proyek e-KTP itu dikabarkan tewas karena bunuh diri.
Johannes merupakan saksi kunci di kasus yang telah merugikan keuangan negara sebesar Rp2,3 triliun. Ia pernah mengaku memiliki rekaman seluruh isi pembicaraan dengan beberapa orang yang terlibat dalam pembahasan proyek e-KTP.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tim penyidik KPK sendiri sudah memeriksa Johannes selaku Direktur Biomorf Lone LLC sebanyak dua kali, masing-masing di Amerika Serikat dan Singapura.
Sebelum Johannes, ada dua saksi lain dari unsur anggota dewan yang sudah lebih dulu meninggal dunia. Keduanya ialah kader Partai Demokrat Ignatius Mulyono dan kader Partai Golkar Mustokoweni.
Dalam surat dakwaan eks pejabat Kementerian Dalam Negeri, Irman dan Sugiharto, baik Ignatius maupun Mustokoweni diduga turut menerima aliran uang korupsi e-KTP. Ignatius disebut menerima US$258 ribu dan Mustokoweni disebut menerima US$408 ribu.
Meninggalnya para saksi itu diakui KPK membuat penyidikan menjadi terhambat.
Ferry Yen alias Suhardi menjadi salah satu saksi penting dalam kasus cek pelawat Rp24 miliar yang diduga melibatkan sejumlah anggota DPR.
Ferry Yen meninggal dunia pada 2007 silam, sebelum kasus tersebut terungkap tiga tahun kemudian. Ia disebut menjadi saksi kunci lantaran dianggap mengetahui asal usul pemberian cek pelawat kepada puluhan anggota DPR periode 1999-2004.
Ferry Yen disebut memesan 480 lembar cek pelawat senilai Rp24 miliar di Bank Internasional Indonesia melalui Bank Artha Graha. Selain digunakan untuk membayar uang muka pembelian lahan kelapa sawit seluas 5.000 hektare di Tapanuli Selatan, cek senilai Rp20,8 miliar diduga mengalir ke beberapa anggota dewan.
Cek diberikan dengan maksud agar DPR memilih Miranda S. Goeltom sebagai deputi gubernur senior BI.
Selain saksi yang meninggal, KPK pun diketahui tengah mencari saksi-saksi kunci kasus rasuah kakap lainnya. Salah satu yang dicari adalah Ali Fahmi alias Fahmi Habsyi terkait kasus uap pengurusan anggaran Bakamla.
Ali yang juga diketahui sebagai kader PDIP itu merupakan mantan Staf Khusus Kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla) Laksamana Madya (Purn) Arie Sudewo. Ia disinyalir mengetahui keterlibatan anggota DPR yang diduga menerima suap dalam meloloskan anggaran pemantau satelit di Bakamla.
Pernah memenuhi panggilan penyidik empat tahun lalu, Ali setelah itu selalu mangkir baik sebagai saksi dalam proses penyidikan maupun persidangan. Terakhir ia dipanggil sebagai saksi pada 22 Januari lalu, namun tak hadir.
Ali disebut memiliki peran sentral karena disebut sebagai orang yang menawarkan proyek di Bakamla kepada Direktur Utama PT Melati Technofo Indonesia, Fahmi Darmawansyah. Proyek yang diserahkan kepada Fahmi untuk dikerjakan adalah proyek pengadaan pemantau satelit.
Sementara untuk buron, hingga kini KPK diketahui belum berhasil menangkap sejumlah tersangka korupsi yang telah masuk Daftar Pencarian Orang (DPO).
Mereka adalah pemilik PT Perusa Sejati, Kirana Kotama; Pemilik PT Darmex Group atau PT Duta Palma, Surya Darmadi; Taipan sekaligus bos PT Borneo Lumbung Energy & Metal (BLEM), Samin Tan.
Kemudian eks kader PDIP, Harun Masiku; mantan Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) wilayah Sabang, Izil Azhar; serta suami-istri Sjamsul dan Itjih Nursalim.
![]() |