Komisioner Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Aceh (KPPAA), Firdaus Nyak Idin mengapresiasi penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur hukum kebiri kimia terhadap pelaku kekerasan seksual.
Meskipun demikian, Firdaus ragu PP tersebut bisa diterapkan di Aceh.
"Kami meragukan PP tersebut dapat dijalankan di Aceh. Salah satu alasannya karena dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak, aparat penegak hukum di Aceh lebih banyak menggunakan Qanun Jinayat. Sementara Qanun Jinayat belum tentu bisa mengadopsi PP dimaksud," kata Firdaus saat dikonfirmasi, Senin (4/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejauh ini, Firdaus memaparkan pihaknya terus mendorong penegak hukum di Aceh agar predator anak bisa di hukum lewat UU Perlindungan Anak. Namun kenyataannya, masih banyak yang menggunakan hukum cambuk lewat Qanun Jinayat.
Qanun Jinayat adalah peraturan daerah yang mengatur pidana Islam. Penerapan Qanun diatur hak dan keistimewaan penerapannya lewat undang-undang.
Atas dasar itulah, ia mencurigai predator kekerasan seksual pada anak di Aceh nantinya malah berlindung di balik Qanun Jinayat, agar tidak kena hukuman kebiri kimia.
"Kami takutkan predator kekerasan seksual terhadap anak malah berlindung di balik Qanun Jinayat, supaya tak kena hukuman yang tercantum dalam PP dimaksud," ujarnya.
Firdaus menyatakan secara umum KPPA Aceh mendukung penuh PP Kebiri tersebut. Menurutnya, inti PP itu bukan sekedar kebiri tapi ada penanganan lain yang sejak awal diadvokasi pihaknya seperti foto pelaku akan dipublikasi dan akan diberi alat pelacak.
Sebagai informasi, sebelumnya, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) meneken Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak.
Regulasi yang merupakan turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23 Tahun 2OO2 tentang Perlindungan Anak tersebut, ditandatangani dan ditetapkan Jokowi pada 7 Desember 2020.
Menanggapi penekenan PP tersebut, Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko menyatakannya sebagai langkah konkret mengganjar pelaku kekerasan seksual terhadap anak.
Moeldoko berpendapat masyarakat Indonesia membutuhkan PP tersebut. Sebab kata dia, PP ini memberi perlindungan ekstra terhadap warga negara.
"Dengan PP itulah memberikan kepastian agar ada langkah-langkah yang lebih konkret, terhadap para pelaku pemerkosa," kata Moeldoko dalam rekaman suara, Senin (4/1).
Mantan Panglima TNI itu berkata, PP yang diteken pada 7 Desember 2020 ini juga merupakan bentuk kepedulian Sang Presiden terhadap isu perlindungan kaum perempuan dan anak kecil.