Deret PR Kapolri Baru Versi ICW, Koordinasi Hingga Dwifungsi

CNN Indonesia
Sabtu, 09 Jan 2021 01:30 WIB
Indonesia Corruption Watch (ICW) memberikan sejumlah catatan yang harus dibenahi Kapolri baru pengganti Jenderal Idham Azis.
Kapolri baru dinilai perlu membenahi internal Polri (CNN Indonesia/Hesti Rika)
Jakarta, CNN Indonesia --

Indonesia Corruption Watch (ICW) memberikan sejumlah catatan terkait dengan calon Kapolri pengganti Jenderal Idham Azis yang akan memasuki masa pensiunnya pada Februari 2021 mendatang.

Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana memaparkan salah satu yang harus dipastikan ialah agenda pembenahan internal kepolisian. Pula, mengenai penindakan kasus korupsi di masa mendatang yang harus lebih optimal.

"Institusi Polri selama ini masih dipersepsikan negatif oleh publik, terutama berkaitan dengan komitmen untuk memberantas korupsi," kata Kurnia dalam keterangan resmi ICW, Jumat (8/1).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

ICW, kata Kurnia, menyoroti sejumlah kasus-kasus megakorupsi yang ternyata malah melibatkan aparat kepolisian selaku penegak hukum.

Berdasarkan catatannya, ada sembilan Jenderal polisi yang sudah terseret kasus korupsi besar di Indonesia. Diantaranya Irjen Napoleon Bonaparte dan Brigjen Prasetijo Utomo yang tersandung kasus dugaan penerimaan suap terkait kasus Djoko Tjandra saat masih buron.

Kurnia menuturkan bahwa integritas anggota anggota kepolisian harus dibenahi. Pertama, kata dia, Kapolri harus memastikan jajarannya patuh dan benar dalam melaporkan harta kekayaan kepada KPK (LHKPN).

"Pada pertengahan 2019 lalu, dari 29.526 anggota Polri yang wajib lapor, 12.779 diantaranya belum menyampaikan LHKPN ke KPK," jelas Kurnia dalam keterangannya.

Koordinasi Antar Penegak Hukum

Menurut ICW, koordinasi antar institusi penegak hukum ini menjadi masalah klasik, terutama di kepolisian. Kata dia, masih ada ego sektoral masing-masing institusi penegakan hukum.

Menurutnya, polisi beberapa kali sering menunjukkan hal itu, khususnya dalam menangani perkara korupsi yang dilakukan perwira tinggi Polri.

Kemudian, kasus lain yang terjadi ialah saat pemberian dokumen penanganan perkara yang melibatkan Djoko Tjandra. Dimana dua tersangka merupakan perwira tinggi Polri sehingga rentan terjadi konflik kepentingan.

Minim Transparansi Perkara

ICW mengutip Komisi Informasi Pusat (KIP) yang memberi penilaian terhadap lembaga-lembaga negara. Dalam hal ini, temuan KIP menyebutkan bahwa Polri sebagai lembaga yang cukup informatif dengan nilai 70,52.

Namun, kata Kurnia, penilaian itu seharusnya menjadi evaluasi dan Kapolri terpilih mengingat sulitnya publik mengakses perkembangan penanganan perkara.

"Situasi ini menimbulkan potensi penyalahgunaan kewenangan, apalagi jika tanpa diikuti dengan pengawasan internal yang jelas dan ketat," tambahnya.

Promosi Jabatan

Menurut Kurnia, selama ini kerap ditemukan anggota-anggota Polri yang memiliki rekam jejak bermasalah namun terpilih dalam jabatan strategis.

Oleh sebab itu, kata dia, perlu ada pengawasan yang ketat dan terobosan kebijakan terkait hal ini.

"Agar proses tersebut dapat menjunjung tinggi nilai integritas, profesionalitas, parsitipatif, transparan, akuntabel, dan independen," ucap Kurnia.

Anggota di Jabatan Publik

Merujuk data Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) ICW menyebut ada sekitar 30 anggota kepolisian yang menduduki jabatan di luar institusi dari Juni 2019 hingga Mei 2020.

"Temuan ini mengindikasikan adanya praktik dwifungsi Polri dan hal tersebut sangat bertolak-belakang dengan semangat reformasi," katanya.

Penindakan Korupsi Menurun

ICW mencatat penanganan korupsi di Korps Bhayangkara selalu menurun setiap tahun. Sepanjang 2019 misalnya, polisi hanya mengerjakan 100 kasus dengan 209 tersangka. Capaian itu menurun dari tahun sebelumnya, yakni 162 kasus dengan 337 tersangka.

Potensi Penyalahgunaan Fungsi

Kurnia mengatakan fungsi kepolisian saat ini terkesan tengah dimanfaatkan oleh kekuasaan eksekutif dan melaksanakan kontra narasi terhadap kritik publik.

Hal itu, kata Kurnia, terlihat saat pemerintah dan DPR mengesahkan Omnibus Law Undang-undang Cipta Kerja.

"Narasi di atas dapat dicuplik pada saat Kapolri Jenderal Idham azis mengeluarkan surat telegram rahasia yang berisi 12 poin untuk merespon adanya unjuk rasa terhadap penolakan RUU Omnibus Law Cipta Kerja," ucapnya.

(mjo/bmw)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER