Program vaksinasi Covid-19 telah bergulir, Rabu (13/1). Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) menjadi orang pertama yang disuntik vaksin.
Pemerintah RI menargetkan 70 persen penduduk Indonesia atau sekitar 182 juta jiwa menerima program vaksinasi ini. Pertimbangannya semata-mata agar memunculkan kekebalan kelompok (herd immunity) atas Covid-19.
Namun, ambisi itu dikhawatirkan terganjal penolakan atas vaksinasi Sinovac yang brembus di kalangan masyarakat hingga elite.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari kelompok elite, Anggota DPR Komisi IX dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Ribka Tjiptaning, menyampaikan penolakannya karena ragu atas vaksin tersebut.
Ia ragu karena uji klinis fase III atas vaksin Sinovac yang dilakukan di Bandung belum selesai secara keseluruhan.
"Saya yang pertama bilang saya yang pertama menolak vaksin. Kalau dipaksa pelanggaran HAM tidak boleh memaksa begitu," ujar politikus PDIP itu dalam rapat kerja Komisi IX yang dihadiri Menkes Budi Gunadi Sadikin dan Kepala BPOM Penny Lukito, Selasa (12/1).
Menanggapi persoalan-persoalan yang terjadi, Epidemiolog dari Universitas Airlangga, Windhu Purnomo, mengungkapkan pekerjaan rumah pemerintah mencapai herd immunity lewat vaksinasi terbilang berat.
Selain masih ada sebagian dari masyarakat Indonesia yang ragu, juga ada kelompok-kelompok yang selama ini dikenal antivaksin apapun itu.
"Kalau kita lihat yang antivaksin betulan itu, loh, ya, itu enggak banyak. Sekarang ini tidak bisa kita sebut antivaksin, tapi mereka masih meragukan. Karena kan ini sejarah baru: vaksin ini bisa ditemukan dalam tempo setahun. Itu sejarah baru. Vaksin itu bisa puluhan tahun [ditemukan], kok [sekarang] bisa setahun," kata Windhu kepada CNNIndonesia.com melalui sambungan telepon, Rabu (13/1).
Windhu mengamini bahwa program vaksinasi berguna untuk mencegah agar seseorang tidak terinfeksi. Namun, secara pribadi ia mengaku pesimis jika berbicara herd immunity sebagai bentuk pengendalian pandemi Covid-19 dengan target 70 persen penduduk yang divaksin. Dia merujuk pada tingkat efikasi vaksin Sinovac yang diumumkan Badan Pengawas Obat-obatan dan Makanan (BPOM) RI pada Senin (11/1) lalu.
"Kalau [efikasi] 65,3 persen, kita tidak akan mencapai herd immunity. Nah, kalau memang pemerintah mau mencapai herd immunity, maka cakupannya tidak boleh 70 persen penduduk. Harus lebih," ujar Windhu.
"Hitung-hitungan saya minimal harus 80 persen [penduduk] kalau dengan efikasi segini [65,3 persen]. Itu sekitar 80 persen. Dan itu kalau jumlah penduduk kita 270 juta, itu sekitar 214 juta orang [yang divaksin]," sambungnya.
Oleh karena itu, Windhu berharap pemerintah tidak menjadikan vaksinasi sebagai langkah tunggal dalam penanganan pandemi Covid-19. Dia menegaskan, selama Covid-19 belum ditemukan obatnya, kunci utama pengendalian pandemi masih ada pada program 3T (tes, telusuri, tindaklanjuti/perawatan); 3M (mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak); dan pengendalian mobilitas penduduk.
"Jangan sampai pemerintah dengan ada vaksin, testing dan tracing lemah. Sekarang itu lemah banget. Hal seperti ini enggak akan bisa kita mengendalikan pandemi," tegas Windhu.
![]() |
Secara terpisah Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, menilai kebijakan vaksinasi Covid-19 oleh pemerintah bersifat kontraproduktif.
Ia menilai hal tersebut merujuk pada ancaman pidana bui 1 tahun terhadap masyarakat yang menolak divaksin. Menurutnya ancaman pidana sebagaimana disampaikan Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej, itu bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam UU Kesehatan.
Trubus menegaskan pada Pasal 5 Ayat 3 UU Kesehatan menyatakan, 'Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya'.
"Ini kebijakan kontraproduktif," tegas Trubus saat dihubungi melalui sambungan telepon, Rabu (13/1).
Atas dasar itu, serupa Windhu, Trubus mengatakan pekerjaan rumah pemerintah mengenai vaksinasi Covid-19 masih cukup banyak dan berat. Beberapa di antaranya yakni perihal transparansi dan akuntabilitas publik.
"Pertanggungjawaban publik belum ada. Kalau masyarakat nanti disuntik, dikasih vaksin kemudian lumpuh, ke mana gugatnya. Masyarakat harus dikasih tahu bahwa kualitas aman," katanya.
![]() |
Untuk diketahui, program vaksinasi Covid-19 dimulai di Indonesia setelah BPOM RI mengeluarkan izin penggunaan darurat (Emergency Use Authorization/EUA) atas vaksin Sinovac pada Senin (11/1) lalu.
BPOM menyatakan vaksin Sinovac memiliki efikasi atau keampuhan sebesar 65,3 persen. Itu di atas ambang batas yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yaitu 50 persen. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun telah menetapkan vaksin Sinovac suci dan halal.
Dari tujuh merek vaksin Covid-19 yang ditetapkan Kemenkes untuk dipakai di Indonesia, sejauh ini pemerintah memang baru memegang dari Sinovac, China.
Setidaknya sebanyak 3 juta dosis yang akan diprioritaskan untuk tenaga kesehatan telah disebar ke provinsi-provinsi sesuai jatah masing-masing.