Brigadir TT, anggota Polri yang dipecat karena menyukai sesama jenis atau atau homoseksual (gay) kembali mengajukan upaya banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Surabaya.
Sebelum upaya ini, PTUN Semarang menolak gugatan TT terkait pemecatannya dari institusi Polri.
"Upaya hukum banding ini merupakan bentuk perlawanan terhadap putusan PTUN Semarang Nomor: 63/G/2020/PTUN.SMG pada tanggal 7 Januari 2021," kata kuasa hukum TT dari LBH Masyarakat, Ma'ruf Barjammal dalam keterangannya, Selasa (26/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ma'ruf menuturkan dalam memori banding ini, pihaknya menekankan soal kekeliruan PTUN Semarang dalam mengadili perkara pemecatan TT.
Sebab, menurut Ma'ruf, putusan PTUN Semarang itu bertentangan dengan ketentuan hukum acara peradilan tata usaha negara, khususnya dalam upaya administrasi pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH).
Selain itu, LBHM juga meyakini putusan PTUN Semarang bertentangan dengan pedoman pelaksanaan tugas bagi pengadilan, seperti yang tertuang dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 2020 tentang Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung.
Dalam aturan itu, kata Ma'ruf, merumuskan bahwa perkara PTDH yang didasarkan pada komisi etik tidak perlu diajukan upaya keberatan internal.
"Berdasar hal ini, LBHM selaku tim kuasa hukum Brigadir TT meminta kepada Majelis Hakim PTTUN Surabaya untuk memeriksa perkara dengan seksama dan membatalkan Putusan PTUN Semarang Nomor: 63/G/2020/PTUN.SMG," tutur Ma'ruf.
Ma'ruf mengatakan dengan pembatalan putusan tersebut, maka PTUN Semarang wajib memeriksa, mengadili, dan memutus perkara a quo.
"Serta memberikan putusan untuk memerintahkan Brigadir TT kembali berdinas sebagai anggota Polri," ucap Ma'ruf.
Sebelumnya, Mabes Polri pernah angkat suara terkait pemecatan TT yang merupakan anggota Subditwisata Ditpamobvit Polda Jawa Tengah dengan pangkat Brigadir.
TT disebut pernah melakukan desersi atau tidak berdinas tanpa keterangan selama kurun waktu tertentu. TT lantas diproses dan dalam perjalanannya, yang bersangkutan disebut terbukti melakukan pelanggaran pelecehan seksual sesama jenis terhadap dua orang.
Mabes Polri kemudian merujuk pada Pasal 9 Undang-Undang Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002, diatur bahwa dalam menjalankan tugas dan wewenang, pejabat Polri senantiasa bertindak berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Dalam tataran norma agama dan kesopanan, Mabes Polri menyebut bahwa LGBT masih menjadi hal yang tabu dari segi agama dan tidak diakui secara yuridis oleh negara.
Lalu, Mabes Polri juga merujuk pada Perkap 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Perkap 14 Tahun 2011. Dalam aturan ini,disebut setiap anggota Polri wajib menjaga citra, reputasi, hingga kehormatan Polri serta wajib menaati, menghormati norma kesusilaan, norma agama, nilai-nilai kearifan lokal dan norma hukum.
(dis/pmg)