Pengamat Tata Kota Nirwono Yoga menyebut keberadaan kompleks makam mewah adalah bentuk komersialisasi pemakaman, lantaran hanya bisa diakses masyarakat golongan menengah ke atas.
Dia mengatakan seharusnya semua orang berhak mendapatkan lahan untuk pemakaman tanpa berbayar. Apalagi, kata Nirwono, dalam perspektif tata kota, pembangunan ditujukan untuk semua golongan.
"Artinya bagi masyarakat umum, makam itu harusnya gratis, karena itu merupakan hak asasi kita sebagai warga kota," ucap dia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nirwono menilai keberadaan pemakaman mewah itu justru bukan solusi krisis lahan pemakaman di kota besar, termasuk Jakarta.
"Karena penggunaan lahan tidak efisien, lahan luas tapi tingkat kematian penggunaan lahan sangat rendah. Berbanding terbalik di kota. Itu kan tidak membantu masalah. Jadi menurut saya tidak membantu sama sekali," ujar dia.
Pengamat Tata Kota lainnya, Yayat Supriatna memiliki pandangan berbeda. Dia menyebut pemakaman elite di Karawang merupakan hal ideal sebagai alternatif bagi masyarakat Jakarta.
Dia tidak memungkiri bahwa pemakaman itu hanya bisa diakses oleh golongan menengah ke atas.
"Itu ideal (makam mewah), semenjak sekarang itu orang boleh booking lahan. Jangan orang takut bicara mati. Jadi bagi yang mampu, bisa makam keluarga, bisa yayasan atau yang dikelola swasta," kata Yayat.
Antropolog dari Universitas Gajah Mada (UGM) Bambang Hudayana menjelaskan pemakaman memiliki makna penting bagi masyarakat Indonesia pada umumnya.
"Karena kita tetap ingin punya kontak relasi dengan kerabat yang meninggal, untuk mengirim doa. Sehingga harus jelas (makam), harus mudah diakses dan tidak digusur," ucap Bambang.
Di tengah situasi sulit saat ini, Bambang memahami kecemasan masyarakat kelas bawah apabila nantinya mereka tak mendapatkan lahan pemakaman yang layak.
Makam, kata Bambang, ibarat 'terminal keberangkatan'. Ada kehidupan yang mesti berlanjut setelah kematian.
(pmg/wis)