Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menilai program Kampus Mengajar salah sasaran jika ditujukan bagi sekolah di daerah 3T (tertinggal, terdepan dan terluar). Wakil Sekretaris Jenderal FSGI Fahrizal Martha Tanjung mengatakan bantuan tenaga pendidik dari mahasiswa bukan solusi, melainkan akses internet.
"Saya kira kurang tepat begitu ya. Karena kita sudah ada solusi [untuk sekolah di daerah 3T], pembelajaran daring diganti belajar luring dengan guru yang sudah ada," ucapnya ketika dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (10/2).
Kampus Mengajar merupakan program besutan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bersama Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Program itu melibatkan mahasiswa untuk diminta mengajar siswa SD di daerah 3T selama satu semester.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Fahrizal justru menilai keinginan tersebut naif dan strategi yang dipilih juga tidak sesuai dengan kebutuhan di daerah 3T. Ia menjelaskan kendala sekolah di sana ada pada keterbatasan jaringan internet dan kepemilikan gawai untuk belajar daring.
Selama belajar jarak jauh, ia bercerita guru dan siswa terputus komunikasi karena tak punya dukungan teknologi. Namun kondisi ini menurutnya sudah dibenahi dengan penerbitan Surat Keputusan Bersama 4 Menteri yang mengizinkan pembelajaran tatap muka di semua zona.
Mulai Januari lalu, sekolah sudah boleh dibuka asal mendapat izin dari pemerintah daerah, komite sekolah dan orang tua. Ketika mengumumkan kabar ini, Nadiem mengatakan kebijakan diambil demi memastikan siswa di daerah 3T bisa sekolah.
Fahriza berpendapat program Kampus Mengajar justru lebih tepat jika dilakukan di model pembelajaran daring dengan metode yang masih terbatas. Ia mengatakan banyak sekolah yang hanya bisa belajar dengan jejaring WhatsApp selama pandemi.
"Karena siswa ketika model pembelajaran satu arah begitu, mereka sulit bertanya kembali ke guru secara langsung. [Ini bisa dibantu] Dengan model mahasiswa KKN, bisa ke rumah-rumah atau membentuk rumah belajar di lingkungan tertentu," kata dia.
Itu pun, lanjutnya, tak bisa diharapkan bakal membawa perubahan besar di tingkat pembelajaran. Menurutnya dampak yang bisa dibawa oleh mahasiswa dalam pendidikan di sekolah hanya di tingkat sosial.
Berkaca pada pengalamannya, agar seorang guru bisa dinyatakan siap mengajar dibutuhkan waktu dan persiapan yang matang. Mulai dari mengikuti Pendidikan Profesi Guru (PPG), latihan praktik mengajar, sampai disertifikasi. Belum lagi pelatihan berkala setelah menjadi pengajar.
Fahriza bercerita ia kerap mendampingi mahasiswa PPG yang sedang latihan praktik di sekolah. Bagi mahasiswa yang memang berlatar belakang profesi pendidik saja, dia sering mendapati mahasiswa yang kesulitan mengajar di sekolah karena kondisi di lapangan yang beragam dan kompleks.
"Itu di PPG saja masih terjadi. Lalu kalau [mahasiswa Kampus Mengajar] dengan waktu [pelatihan] seminggu, terlalu naif lah kita berharap bisa membawa perubahan di dalam konteks pembelajaran di ruang kelas," katanya.
(fey/ain)