Setelah 32 tahun berkuasa, Soeharto meletakkan jabatan presidennya karena gelombang tuntutan reformasi yang menguat. Wakil Presiden RI kala itu, BJ Habibie, menggantikan Soeharto.
Di tangan insinyur pesawat tersebut, Indonesia mulai melakukan perubahan tata aturan perundang-undangan, termasuk menghapus segala hal beleid yang mendiskriminasi etnis Tionghoa.
Pada era Presiden ketiga RI itu. istilah pribumi dan nonpribumi dihapus. Ketentuan tersebut berlaku sejak Habibie mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 26 tahun 1998.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, Habibie juga mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 4 tahun 1999 tentang Melaksanakan Ketentuan Keputusan Presiden Nomor 56 Tahun 1996 Tentang Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia dan Instruksi Presiden Nomor 26 Tahun 1998.
Pada Inpres tersebut, pemerintah menghapus kewajiban Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) bagi Etnis Tionghoa. Sebagai gantinya, mereka berhak mendapatkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) Indonesia.
Mereka juga diperbolehkan mempelajari Bahasa Mandarin.
'Berdasarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 1998, segera meninjau kembali segala peraturan yang melarang atau membatasi kursus Bahasa Mandarin,' demikian bunyi butir b pada Inpres tersebut.
Meskipun demikian, sampai Habibie lengser sebagai presiden, kebijakan-kebijakan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa masih ada.
![]() |
Lihat juga:Habibie dan Kisah Kelahiran Komnas Perempuan |
Inisiatif Habibie meruntuhkan diskriminasi etnis itu lalu dilanjutkan Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.
Gus Dur yang menjadi presiden setelah terpilih di MPR pada 1999, mendorong lebih jauh kesetaraan bag etnis Tionghoa Indonesia.
"Berubah sekali. Secara drastis dicabut segala pembatasan itu," ujar Johanes.
Gus Dur mencabut Inpres Nomor 14 tahun 1946 tentang pelarangan melakukan praktik keagamaan dan adat istiadat dan mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2000 pada 17 Januari 2000. Dalam Inpres ini etnis Tionghoa bebas melakukan kegiatan apa pun, termasuk merayakan Imlek.
Sebagaimana bunyi poin tiga pada Keppres tersebut yaitu, 'Dengan ini penyelenggaraan kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadat Cina dilaksanakan tanpa memerlukan izin khusus sebagaimana berlangsung selama ini.'
Selain itu pada 9 April 2001, mantan Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama itu meresmikan Imlek sebagai hari libur fluktuatif dengan dikeluarkannya Keppres Nomor 9 tahun 2001. Pada era Kepresidenan kelima RI Megawati Soekarnoputri kemudian Imlek baru menjadi hari libur nasional dengan dikeluarkannya Keppres Nomor 19 tahun 2002.
![]() |
Lihat juga:Belajar Soal Keberagaman dari Sosok Gus Dur |
Pada era Presiden keenam RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) nasib etnis Tionghoa semakin diperjuangkan. Mereka dianggap setara dengan etnis lain dan mempunyai hak-hak yang sama sebagai masyarakat sipil.
SBY mengeluarkan UU Nomor 40 tahun 2008 tentang penghapusan diskriminasi ras dan etnik serta Keppres No 12/2014 yang mencabut Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera No SE-06/PRES.KAB/6/1967.
Dampak dari dikeluarkannya UU tersebut, etnis Tionghoa tidak lagi hanya kuat secara ekonomi, namun juga punya peluang kuat secara politik.
"Politik dan Organisasi Tionghoa berkembang. Partisipasi politik Tionghoa juga cukup marak," jelas Johanes.
Berdasarkan data asiapacific.anu.edu.au, tercatat 315 caleg berasal dari etnis Tionghoa yang berpartisipasi pada Pemilu 2014.
![]() |
Dari era B.J Habibie sampai SBY, Johanes melihat ada perkembangan nasib Tionghoa menuju ke arah yang lebih baik. Kendati, masalah rasial masih ada.
"Problem bukan lagi pada peraturan, tapi pada prasangka, stereotip dalam masyarakat," jelasnya.
Johanes membeberkan beberapa prasangka yang disematkan kepada etnis Tionghoa, di antaranya, mereka dianggap mendominasi secara ekonomi, eksklusif dan setia pada leluhur mereka di daratan China.
Sampai era Joko Widodo (Jokowi) menjabat sebagai presiden, prasangka dan stereotipe terhadap etnis Tionghoa di Indonesia pun dinilainya masih ada.
Johanes melihat masih ada beberapa masyarakat yang belum menerima etnis Tionghoa. Hal tersebut, menurutnya, karena reproduksi diskriminasi dan prasangka dari masa lalu berlangsung lama, terutama saat era Soeharto.
Kendati demikian, ia percaya, masalah-masalah itu dapat diatasi secara perlahan.
"Memang butuh waktu yang lama, karena itu kan hasil reproduksi yang lama juga. Upaya-upaya yang bisa dilakukan ya menjalin komunikasi antar etnik salah satunya dan membangun solidaritas yang melintasi batas etnik," tuturnya.
Lihat juga:Tionghoa, Trauma Politik dan Kemunculan Ahok |