Jakarta, CNN Indonesia --
Nasib etnis Tionghoa di Indonesia tak bisa diukur dari satu waktu. Setiap era kepresidenan di RI punya produksi wacana sendiri mengenai keberadaan kelompok masyarakat tertentu di Nusantara.
Ragam pandangan itu melahirkan kebijakan yang akhirnya memengaruhi nasib Tionghoa di Indonesia dari masa ke masa.
Era Sukarno menempatkan etnis Tionghoa dengan aktivitas perekonomian terbatas. Hal ini itu diatur lewat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 tahun 1959 tentang Larangan bagi Usaha Perdagangan Kecil dan Eceran yang Bersifat Asing di Luar Ibu Kota Daerah Swantara Tingkat I dan II Setara Karesidenan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pengamat kebudayaan Universitas Pelita Harapan Johanes Herlijanto berkata PP itu pada dasarnya berlaku untuk semua Warga Negara Asing (WNA) di Indonesia.
Namun, dalam praktiknya PP tersebut sering disalahartikan untuk melarang etnis Tionghoa membuka usaha seperti dagang. Ini karena pada saat itu kebanyakan Tionghoa adalah WNA.
Pada 1955 Presiden Sukarno menyepakati perjanjian dwi kewarganegaraan dengan China. Etnis Tionghoa bisa memutuskan menjadi Warga Negara Indonesia (WNI). Namun, karena prosesnya memakan waktu lama, banyak yang masih tercatat sebagai warga negara China atau Tiongkok.
"Memang ius sanguinis Tiongkok membuat etnik Tionghoa di luar Tiongkok tetap dianggap warga negara Tiongkok," ujar Johanes kepada CNNIndonesia.com awal pekan ini.
Kendati demikian, pada era Sukarno, etnis Tionghoa masih mempunyai ruang bebas dari segi politik dan budaya.
"Etnis Tionghoa tetap memiliki ruang untuk berpolitik, mengekspresikan dan melestarikan budaya, dan menyatakan identitas ketionghoaan di arena publik," kata Johanes.
 Koleksi foto Presiden kedua RI Soeharto yang tersimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI).(CNN Indonesia/Feri Agus Setyawan) |
Kuat Secara Ekonomi, Lemah Secara Politik
Pada era kepresidenan kedua RI, Soeharto, ruang-ruang politik dan kebudayaan etnis Tionghoa dihilangkan. Posisi Etnis Tionghoa di Indonesia menjadi terpojok. Johanes menyebut di era Orde Baru etnis Tionghoa mendapat diskriminasi secara sistematis.
"Ekspresi budaya juga tidak diperkenankan di arena publik, ini diskriminasi sistematis ya," kata Johannes.
Pada 1967, Soeharto yang saat itu sudah menyandang status Pejabat Presiden RI mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 tahun 1967 tentang Agama Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina. Dalam Inpres tersebut aktivitas etnis Tionghoa Indonesia semakin dibatasi.
'Perayaan-perayaan pesta agama dan adat istiadat Cina dilakukan secara tidak mencolok di depan umum, melainkan dilakukan dalam lingkungan keluarga,' bunyi poin kedua dalam Nomor 14 tahun 1967.
Rezim Soeharto berdalih inpres itu terbit demi menyeimbangkan asimilasi kebudayaan Etnis Tionghoa pada proporsi yang wajar. Namun, Johanes melihat Inpres tersebut adalah upaya untuk menghilangkan budaya-budaya Tionghoa.
"Maksud dari asimilasi budaya, proses Tionghoa melebur sehingga ketionghoaan-nya tidak terlihat," jelasnya.
 Salah satu sudut di kawasan Petak Sembilan, Glodok, Jakarta. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Sosiolog Ariel Heryanto dalam bukunya Identitas dan Kenikmatan mencatat beberapa pelarangan budaya yang dilakukan rezim Orba di bawah kepresidenan Soeharto selama lebih dari tiga dekade.
"Hingga berakhirnya abad 20, aksara Cina termasuk daftar barang terlarang seperti halnya peledak... Hingga awal 1990-an, senam popular Cina, lagu Mandarin di pusat karaoke dan penjual kue-kue Cina dilarang," tulis Ariel pada bukunya (halaman 208).
Tak terhenti pada Inpres 14/1967, Soeharto juga mengeluarkan Surat Edaran No.06/Preskab/6/67. Dalam surat edaran tersebut Etnis Tionghoa harus mengubah namanya menjadi nama yang berbau Indonesia. Bahkan saat itu ada badan khusus untuk mengawasi Etnis Tionghoa seperti Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC) yang menjadi bagian dari Badan Koordinasi Intelijen (Bakin).
Johanes menjelaskan, pasca-G30S rezim Orba memang mempunyai sentimen sendiri terhadap Etnis Tionghoa. Sebabnya tak lepas dari adanya penyamaan etnis Tionghoa dengan warga negara Cina yang dianggap membantu PKI.
"Ada kekhawatiran komunis come back. Salah satunya kekhawatiran yaitu etnis Tionghoa yang memfasilitasinya," ujar Johanes.
Kendati demikian, selama rezim Orba, Johannes melihat posisi etnis Tionghoa terbilang unik. Di satu sisi, mereka didiskriminasi tapi di sisi lain dimanfaatkan penguasa dalam bidang ekonomi.
Johanes menyebut di akhir 1960-an Orba memberi peluang kepada para pengusaha Tionghoa untuk terlibat dalam peningkatan perekonomian Indonesia. Tak heran kemudian di antara deretan orang terkaya Indonesia, nama-nama pengusaha Tionghoa berada di puncak.
Bahkan, pada rezim Orba pun tercatat pula sejumlah pengusaha etnis Tionghoa yang 'dekat' dengan Keluarga Cendana--merujuk pada nama jalan raya yang menjadi alamat rumah Soeharto di Jakarta.
"Ini unik, karena pada saat yang sama, ketika Indonesia butuh tumbuhnya kelas pengusaha nasional di akhir dasawarsa 60an, Orba memberi peluang pada mereka. Makanya muncul istilah, kuat secara ekonomi, tetapi lemah secara politik,"ujar Johannes.
Setelah 32 tahun berkuasa, Soeharto meletakkan jabatan presidennya karena gelombang tuntutan reformasi yang menguat. Wakil Presiden RI kala itu, BJ Habibie, menggantikan Soeharto.
Di tangan insinyur pesawat tersebut, Indonesia mulai melakukan perubahan tata aturan perundang-undangan, termasuk menghapus segala hal beleid yang mendiskriminasi etnis Tionghoa.
Pada era Presiden ketiga RI itu. istilah pribumi dan nonpribumi dihapus. Ketentuan tersebut berlaku sejak Habibie mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 26 tahun 1998.
Selain itu, Habibie juga mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 4 tahun 1999 tentang Melaksanakan Ketentuan Keputusan Presiden Nomor 56 Tahun 1996 Tentang Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia dan Instruksi Presiden Nomor 26 Tahun 1998.
Pada Inpres tersebut, pemerintah menghapus kewajiban Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) bagi Etnis Tionghoa. Sebagai gantinya, mereka berhak mendapatkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) Indonesia.
Mereka juga diperbolehkan mempelajari Bahasa Mandarin.
'Berdasarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 1998, segera meninjau kembali segala peraturan yang melarang atau membatasi kursus Bahasa Mandarin,' demikian bunyi butir b pada Inpres tersebut.
Meskipun demikian, sampai Habibie lengser sebagai presiden, kebijakan-kebijakan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa masih ada.
 Presiden ke-3 RI BJ Habibie di Istana Merdeka, Jakarta Pusat. ((CNN Indonesia/Feri Agus Setyawan) |
Inisiatif Habibie meruntuhkan diskriminasi etnis itu lalu dilanjutkan Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.
Gus Dur yang menjadi presiden setelah terpilih di MPR pada 1999, mendorong lebih jauh kesetaraan bag etnis Tionghoa Indonesia.
"Berubah sekali. Secara drastis dicabut segala pembatasan itu," ujar Johanes.
Gus Dur mencabut Inpres Nomor 14 tahun 1946 tentang pelarangan melakukan praktik keagamaan dan adat istiadat dan mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2000 pada 17 Januari 2000. Dalam Inpres ini etnis Tionghoa bebas melakukan kegiatan apa pun, termasuk merayakan Imlek.
Sebagaimana bunyi poin tiga pada Keppres tersebut yaitu, 'Dengan ini penyelenggaraan kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadat Cina dilaksanakan tanpa memerlukan izin khusus sebagaimana berlangsung selama ini.'
Selain itu pada 9 April 2001, mantan Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama itu meresmikan Imlek sebagai hari libur fluktuatif dengan dikeluarkannya Keppres Nomor 9 tahun 2001. Pada era Kepresidenan kelima RI Megawati Soekarnoputri kemudian Imlek baru menjadi hari libur nasional dengan dikeluarkannya Keppres Nomor 19 tahun 2002.
 Warga memasang poster bergambar Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Solo, Selasa (29/12/2020). Aksi tersebut digelar untuk mengenang jasa-jasa Gus Dur sebagai guru bangsa. (ANTARA FOTO/Maulana Surya) |
Pada era Presiden keenam RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) nasib etnis Tionghoa semakin diperjuangkan. Mereka dianggap setara dengan etnis lain dan mempunyai hak-hak yang sama sebagai masyarakat sipil.
SBY mengeluarkan UU Nomor 40 tahun 2008 tentang penghapusan diskriminasi ras dan etnik serta Keppres No 12/2014 yang mencabut Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera No SE-06/PRES.KAB/6/1967.
Dampak dari dikeluarkannya UU tersebut, etnis Tionghoa tidak lagi hanya kuat secara ekonomi, namun juga punya peluang kuat secara politik.
"Politik dan Organisasi Tionghoa berkembang. Partisipasi politik Tionghoa juga cukup marak," jelas Johanes.
Berdasarkan data asiapacific.anu.edu.au, tercatat 315 caleg berasal dari etnis Tionghoa yang berpartisipasi pada Pemilu 2014.
 Presiden ketujuh RI Joko Widodo (tengah) kala menghadiri Perayaan Imlek Nasional 2019 di JI-EXPO, Kemayoran, Jakarta Pusat. (CNN Indonesia/Feri Agus Setyawan) |
Sisa Masalah Stereotipe, Prasangka
Dari era B.J Habibie sampai SBY, Johanes melihat ada perkembangan nasib Tionghoa menuju ke arah yang lebih baik. Kendati, masalah rasial masih ada.
"Problem bukan lagi pada peraturan, tapi pada prasangka, stereotip dalam masyarakat," jelasnya.
Johanes membeberkan beberapa prasangka yang disematkan kepada etnis Tionghoa, di antaranya, mereka dianggap mendominasi secara ekonomi, eksklusif dan setia pada leluhur mereka di daratan China.
Sampai era Joko Widodo (Jokowi) menjabat sebagai presiden, prasangka dan stereotipe terhadap etnis Tionghoa di Indonesia pun dinilainya masih ada.
Johanes melihat masih ada beberapa masyarakat yang belum menerima etnis Tionghoa. Hal tersebut, menurutnya, karena reproduksi diskriminasi dan prasangka dari masa lalu berlangsung lama, terutama saat era Soeharto.
Kendati demikian, ia percaya, masalah-masalah itu dapat diatasi secara perlahan.
"Memang butuh waktu yang lama, karena itu kan hasil reproduksi yang lama juga. Upaya-upaya yang bisa dilakukan ya menjalin komunikasi antar etnik salah satunya dan membangun solidaritas yang melintasi batas etnik," tuturnya.