Melacak Sejarah Prasangka pada Etnis Tionghoa di Indonesia

CNN Indonesia
Jumat, 12 Feb 2021 11:22 WIB
Diskriminasi dan prasangka sosial-politik terhadap etnis Tionghoa telah terjadi sejak era Sukarno dan belum sepenuhnya berakhir di era pasca Reformasi.
Gerbang Jalan Kemenangan dilengkapi tempat sembahyang bagi umat Konghucu di Glodok, Jakarta. (CNNIndonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia --

Nasib etnis Tionghoa di Indonesia tak bisa diukur dari satu waktu. Setiap era kepresidenan di RI punya produksi wacana sendiri mengenai keberadaan kelompok masyarakat tertentu di Nusantara.

Ragam pandangan itu melahirkan kebijakan yang akhirnya memengaruhi nasib Tionghoa di Indonesia dari masa ke masa.

Era Sukarno menempatkan etnis Tionghoa dengan aktivitas perekonomian terbatas. Hal ini itu diatur lewat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 tahun 1959 tentang Larangan bagi Usaha Perdagangan Kecil dan Eceran yang Bersifat Asing di Luar Ibu Kota Daerah Swantara Tingkat I dan II Setara Karesidenan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pengamat kebudayaan Universitas Pelita Harapan Johanes Herlijanto berkata PP itu pada dasarnya berlaku untuk semua Warga Negara Asing (WNA) di Indonesia.

Namun, dalam praktiknya PP tersebut sering disalahartikan untuk melarang etnis Tionghoa membuka usaha seperti dagang. Ini karena pada saat itu kebanyakan Tionghoa adalah WNA.

Pada 1955 Presiden Sukarno menyepakati perjanjian dwi kewarganegaraan dengan China. Etnis Tionghoa bisa memutuskan menjadi Warga Negara Indonesia (WNI). Namun, karena prosesnya memakan waktu lama, banyak yang masih tercatat sebagai warga negara China atau Tiongkok.

"Memang ius sanguinis Tiongkok membuat etnik Tionghoa di luar Tiongkok tetap dianggap warga negara Tiongkok," ujar Johanes kepada CNNIndonesia.com awal pekan ini.

Kendati demikian, pada era Sukarno, etnis Tionghoa masih mempunyai ruang bebas dari segi politik dan budaya.

"Etnis Tionghoa tetap memiliki ruang untuk berpolitik, mengekspresikan dan melestarikan budaya, dan menyatakan identitas ketionghoaan di arena publik," kata Johanes.

Pihak keluarga Presiden ke-2 RI Soeharto yang diwakili putri Soeharto, Siti Hardiyanti Rukmana alias Mbak Tutut menyerahkan sejumlah arsip kepada ANRI, di Gedung C, ANRI, Jakarta, Kamis (18/7).Arsip yang diserahkan pihak keluarga terdiri dari 19 roll microfilm yang berisi pidato Soeharto berikut dengan daftarnya, 10 roll microfilm pidato Ibu Tien Soeharto beserta daftar dan naskah pidatonya, 10 roll microfilm kumpulan risalah sidang kabinet periode tahun 1967–1998.Kemudian proklamasi integrasi Balibo, yang mendeskripsikan tekad rakyat Timor Timur untuk bersatu dengan Indonesia tahun 1976 beserta daftarnya, satu album foto yang terdiri dari 91 lembar foto yang merekam kegiatan Soeharto berikut compact disc-nya.Koleksi foto Presiden kedua RI Soeharto yang tersimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI).(CNN Indonesia/Feri Agus Setyawan)

Kuat Secara Ekonomi, Lemah Secara Politik

Pada era kepresidenan kedua RI, Soeharto, ruang-ruang politik dan kebudayaan etnis Tionghoa dihilangkan. Posisi Etnis Tionghoa di Indonesia menjadi terpojok. Johanes menyebut di era Orde Baru etnis Tionghoa mendapat diskriminasi secara sistematis.

"Ekspresi budaya juga tidak diperkenankan di arena publik, ini diskriminasi sistematis ya," kata Johannes.

Pada 1967, Soeharto yang saat itu sudah menyandang status Pejabat Presiden RI mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 tahun 1967 tentang Agama Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina. Dalam Inpres tersebut aktivitas etnis Tionghoa Indonesia semakin dibatasi.

'Perayaan-perayaan pesta agama dan adat istiadat Cina dilakukan secara tidak mencolok di depan umum, melainkan dilakukan dalam lingkungan keluarga,' bunyi poin kedua dalam Nomor 14 tahun 1967.

Rezim Soeharto berdalih inpres itu terbit demi menyeimbangkan asimilasi kebudayaan Etnis Tionghoa pada proporsi yang wajar. Namun, Johanes melihat Inpres tersebut adalah upaya untuk menghilangkan budaya-budaya Tionghoa.

"Maksud dari asimilasi budaya, proses Tionghoa melebur sehingga ketionghoaan-nya tidak terlihat," jelasnya.

Ide itu tercetus dari salah seorang pengusaha muslim Tionghoa bernama M. Jusuf Hamka. Saat itu, banyak warga Tionghoa yang tergerak hatinya usai melihat warung nasi Podjok halal. CNN Indonesia/Adhi WicaksonoSalah satu sudut di kawasan Petak Sembilan, Glodok, Jakarta. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)

Sosiolog Ariel Heryanto dalam bukunya Identitas dan Kenikmatan mencatat beberapa pelarangan budaya yang dilakukan rezim Orba di bawah kepresidenan Soeharto selama lebih dari tiga dekade.

"Hingga berakhirnya abad 20, aksara Cina termasuk daftar barang terlarang seperti halnya peledak... Hingga awal 1990-an, senam popular Cina, lagu Mandarin di pusat karaoke dan penjual kue-kue Cina dilarang," tulis Ariel pada bukunya (halaman 208).

Tak terhenti pada Inpres 14/1967, Soeharto juga mengeluarkan Surat Edaran No.06/Preskab/6/67. Dalam surat edaran tersebut Etnis Tionghoa harus mengubah namanya menjadi nama yang berbau Indonesia. Bahkan saat itu ada badan khusus untuk mengawasi Etnis Tionghoa seperti Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC) yang menjadi bagian dari Badan Koordinasi Intelijen (Bakin).

Johanes menjelaskan, pasca-G30S rezim Orba memang mempunyai sentimen sendiri terhadap Etnis Tionghoa. Sebabnya tak lepas dari adanya penyamaan etnis Tionghoa dengan warga negara Cina yang dianggap membantu PKI.

"Ada kekhawatiran komunis come back. Salah satunya kekhawatiran yaitu etnis Tionghoa yang memfasilitasinya," ujar Johanes.

Kendati demikian, selama rezim Orba, Johannes melihat posisi etnis Tionghoa terbilang unik. Di satu sisi, mereka didiskriminasi tapi di sisi lain dimanfaatkan penguasa dalam bidang ekonomi.

Johanes menyebut di akhir 1960-an Orba memberi peluang kepada para pengusaha Tionghoa untuk terlibat dalam peningkatan perekonomian Indonesia. Tak heran kemudian di antara deretan orang terkaya Indonesia, nama-nama pengusaha Tionghoa berada di puncak.

Bahkan, pada rezim Orba pun tercatat pula sejumlah pengusaha etnis Tionghoa yang 'dekat' dengan Keluarga Cendana--merujuk pada nama jalan raya yang menjadi alamat rumah Soeharto di Jakarta.

"Ini unik, karena pada saat yang sama, ketika Indonesia butuh tumbuhnya kelas pengusaha nasional di akhir dasawarsa 60an, Orba memberi peluang pada mereka. Makanya muncul istilah, kuat secara ekonomi, tetapi lemah secara politik,"ujar Johannes.

Cicil Penghapusan Aturan Diskriminasi Tionghoa

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER