Sejumlah orang yang terjerat pasal karet Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 sebagai perubahan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) berbicara mengenai wacana revisi kembali beleid tersebut.
Diketahui, pada Senin (15/2) lalu Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) membuka wacana untuk merevisi UU ITE, terutama menghapus pasal-pasal yang disebut karet.
"Mudah-mudahan bisa terwujud apa yang bapak presiden utarakan beberapa hari yang lalu untuk merevisi UU ITE tersebut. Karena bagaimanapun saya yang mengalami secara langsung bagaimana secara moril, secara fisik, beban yang ada," ujar penyintas jeratan hukuman UU ITE Baiq Nuril Maqnun dalam diskusi daring "Mimbar Bebas Represi" yang digelar secara daring via akun Youtube Amnesty International Indonesia, Sabtu (20/2).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baiq Nuril adalah seorang guru di NTB yang menjadi terpidana jeratan pasal UU ITE--sementara dirinya kala itu adalah korban pelecehan seksual.
Kasus Baiq Nuril itu kemudian mendapatkan perhatian nasional. Perjuangan mendapatkan kebebasan membawanya ke DPR, hingga akhirnya mendapatkan amnesti dari Jokowi pada 29 Juli 2019.
"Semoga revisi UU ITE segera dilaksanakan. Agar tidak ada korban seperti saya. Butuh perjuangan untuk membuktikan kami benar-benar tidak bersalah. Mencari keadilan butuh pengorbanan. Saya sangat beruntung dapat dibantu orang-orang yang peduli," kata Baiq.
Senada Baiq, jurnalis asal Kalimantan Selatan Diananta P Sumedi menganggap pernyataan Jokowi itu sebagai angin segar. Oleh karena itu, ia menantikan langkah kongkret dari revisi UU ITE tersebut.
"Pernyataan presiden tentang revisi UU ITE adalah angin segar bagi korban seperti saya," kata Diananta yang dijerat pidana UU ITE atas pekerjaan jurnalistiknya.
Mantan Pemimpin Redaksi Banjarhits itu mengatakan UU ITE sangat lentur dan multitafsir. Ia pun bahkan menyayangkan seorang jurnalis seperti dirinya yang melakukan kerja jurnalistik justru dipidana dengan UU ITE.
"Jika dibiarkan, saya khawatir UU ITE jadi senjata yang digunakan perusahaan maupun pemerintah untuk membungkam wartawan yang kritis," kata dia.
"Jangan samakan kritik objektif dengan perbuatan kriminal. Sangat mendesak untuk presiden Jokowi dan DPR merevisi UU ITE," sambung Diananta yang berharap wacana dari Jokowi soal revisi UU ITE bukan hanya janji manis.
![]() |
Lihat juga:Mahfud MD Bentuk 2 Tim Perumus Revisi UU ITE |
Apa yang diutarakan Diananta itu diamini peneliti kebijakan publik Ravio Patra. Ravio yang dijerat UU ITE--justru terkait pesan yang dikirim lewat ponselnya yang diretas--mengatakan revisi atas beleid itu diperlukan karena represinya sering menjadi pintu gerbang kriminalisasi dengan pasal lain seperti makar dan lain-lain.
"Advokasi dari masyarakat sipil dan berbagai ahli sudah berkali-kali dilakukan untuk masalah UU ITE. Sudah seharusnya ini jadi perhatian negara," kata Ravio.
Eks Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqqodas mengkritisi penyalahgunaan pasal-pasal karet UU ITE adalah bentuk neo-otoritarianisme.
"Dalam praktik kriminalisasi UU ITE, kita harus bertanya apakah penegak hukum pelindung rakyat atau alat kekuasaan? Kebebasan berekspresi menjadi penting, negara sepatutnya bersyukur ketika rakyatnya perhatian dengan persoalan negara," kata pria yang juga kini dikenal sebagai advokat tersebut.