September 2019, Veronica Koman menikmati masa-masa terakhir di Australia. Studinya di Australian National University sudah rampung. Ia tinggal menunggu waktu wisuda.
Di suatu sore, ponsel Veronica berdering. Ada satu pesan singkat masuk, dari seorang kawan di Indonesia. Rekan itu mengabarkan bahwa polisi menetapkan Veronica sebagai tersangka.
Sejak 17 Agustus 2019, isu Papua sedang panas-panasnya. Aksi rasialisme oknum aparat terhadap mahasiswa Papua di Surabaya menyulut kemarahan publik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejumlah aksi unjuk rasa digelar di berbagai daerah, termasuk di Tanah Papua. Pemerintah bahkan sampai memadamkan koneksi internet di Papua usai sejumlah aksi berujung ricuh.
Di saat keadaan genting itu, Veronica Koman aktif mencuit di Twitter. Ia aktif membagikan informasi gerakan massa di Papua.
Pada 4 September 2019, Veronica resmi menyandang status tersangka. Polisi menjerat Veronica dengan pasal berlapis, termasuk UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Selain UU ITE Veronica juga dijerat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 46 tentang Peraturan Hukum Pidana, KUHP Pasal 160, dan Undang-Undang Nomor 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
"Saya juga sempat berpikir pasal apa yang kira-kira akan dipakai untuk kriminalisasi saya. Saya sudah duga itu pasti ITE. Ternyata betul, karena ITE sekaret itu," kata Veronica saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (18/2).
Veronica menyebut UU ITE sangat mudah dipakai untuk mengkriminalisasi. Selain ada pasal karet, UU ITE tak membutuhkan pembuktian yang sulit. Cukup dengan tangkapan layar internet, kasus bisa berjalan.
Ia melihat ada tren penggunaan UU ITE untuk membungkam aktivis dalam beberapa tahun belakangan. Veronica mencontohkan dengan sejumlah kasus di Papua.
Veronica menyebut sejumlah aktivis Papua juga dijerat UU ITE pada 2020. Mereka dituduh melakukan ujaran kebencian. Padahal, para aktivis itu hanya mengkritik kebijakan kepolisian.
"Ujaran kebencian itu kan harusnya kalau bermuatan SARA. Bukan kalau benci polisi, itu jadi ujaran kebencian. Tren di Papua begitu, diinterpretasikan ujaran kebencian UU ITE kayak gitu. Yailah, buset dah, pusing, gua," ucapnya sembari tertawa.
Usai ditetapkan sebagai tersangka, Veronica juga masuk dalam daftar pencarian orang (DPO). Karena berstatus buronan, ia belum pernah kembali ke Tanah Air pascawisuda.
"Masalahnya kalau saya dipenjara, siapa yang ngabarin info alternatif (tentang Papua) ini? Kalau mau tangkap, tangkap, tapi saya enggak akan menyerahkan diri," ujarnya.
Veronica mendukung usulan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk merevisi pasal-pasal karet UU ITE. Menurutnya, undang-undang ini telah melanggar kebebasan berpendapat.
Ia bercerita sering diledek pengikutnya di Twitter. Mereka menyebut Veronica tak takut melontarkan kritik ke pemerintah karena sudah kepalang tanggung menjadi DPO. Sementara mereka takut mengkritik karena UU ITE.
Bagi Vero, ada masalah serius di balik lelucon para pengikutnya. Ia menyebut kebebasan berpendapat di Indonesia telah dilanggar dengan kehadiran UU ITE.
"Tidak mesti warga negara sudah dipenjara oleh UU ITE baru haknya dilanggar, tidak. Ketika warga negara sudah merasa takut untuk berekspresi, berpendapat, hak warga negara tersebut sudah dilanggar," ucap Veronica.
Meski begitu, Veronica mengingatkan perjuangan menegakkan demokrasi tak berhenti di rencana revisi UU ITE. Ia berharap masyarakat ikut mengawal langkah perbaikan kualitas demokrasi di Indonesia.
"Jangan puas kalau Presiden Jokowi berharap langkah revisi UU ITE ini untuk memperbaiki demokrasi. Iya itu satu langkah saja, tapi masih banyak PR memperbaiki demokrasi," ujarnya.
Sejumlah pihak kini menanti keseriusan Jokowi menghapus pasal-pasal karet dalam UU ITE. Pasalnya, Jokowi sempat meminta Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo membuat pedoman interpretasi UU ITE.
"Tinggal kemauan saja. Mau atau enggak, atau cuma lip service saja?" kata Ketua YLBHI Asfinawati ketika dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (18/2).
Merujuk pada data yang dikeluarkan SAFEnet, pasal-pasal karet yang perlu dicabut antara lain, Pasal 26 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (3), Pasal 28 ayat (2), Pasal 29, Pasal 36, Pasal 40 ayat (2) a, Pasal 40 ayat (2) b, dan Pasal 45 ayat (3).
(dhf/fra)