Penyintas Covid-19 Menolak Tunduk pada Pandemi
Perjalanan Budi selama setahun pandemi virus corona tak semiris banyak pasien lainnya. Mereka gagal mendapatkan rumah sakit rujukan, tak bisa dirawat, hilang pekerjaan atau bahkan nyawa.
Namun, pagebluk ini telah membuka kesadaran Budi untuk bergotong royong saling menolong.
Nama lengkapnya Budi Sulistiyono. Ia pria berbadan gempal, berambut cepak, kulit sawo matang. Usianya kini menginjak 40 tahun, dan hobi berolahraga, terutama bersepeda.
Kabar buruk itu ia terima akhir November 2020. Budi dinyatakan positif Covid-19. Itu kurang dari sepekan setelah ia menengok istri dan anaknya di Kuningan, Jawa Barat.
Kala itu, Budi merasa pegal-pegal dan mulai kehilangan indra penciuman. Firasatnya benar. Setelah hasil swab mandiri di salah satu rumah sakit kawasan Kemang, Jakarta Selatan, dirinya positif Covid-19.
"Saya mulai curiga karena hidung itu enggak kecium bau apa-apa. Wah, saya sudah kena ini," ujarnya saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, Selasa (16/2).
Budi tak tahu persis kapan dan di mana ia tertular. Namun, ia menduga terinfeksi saat dalam perjalanan kembali ke Jakarta usai menengok keluarganya di kampung halaman.
"Jadi memang, kecerobohan pas di dalam mobil travel, waktu itu saya sempat membuka masker untuk minum. Kemungkinan pas di travel kenanya," kata dia.
Begitu dinyatakan positif, Budi kemudian menjalani isolasi mandiri di kontrakan di bilangan Cipinang, Jakarta Timur. Keputusan itu atas saran dokter. Budi hanya mengalami gejala ringan.
Babak baru pengalaman Budi melawan pandemi dimulai.
Ia harus melewati dua pekan isolasi mandiri tanpa didampingi siapapun. Kecuali sesekali berbalas pesan atau telepon dengan dokter kantor untuk memantau perkembangannya selama isolasi.
Budi sebelumnya hanya mengabari istri dan saudaranya saat dinyatakan positif. Ia melarang istri mengabari orang tua. Kepada mereka, Budi hanya mengabari dirinya tak bisa pulang selama dua pekan.
"Terus kemudian saya wanti-wanti juga ke istri. Kalau bisa jangan kontak dulu dengan orang luarlah terus ikut isolasi juga," pesan Budi.
Dua pekan masa isolasi Budi hanya diisi dengan rutinitas itu-itu saja: olahraga, berjemur, dan istirahat. Ia harus menyiapkan semua keperluannya dari dalam kamar isolasi kontrakan. Untuk makan, ia mengandalkan layanan jasa antar lewat aplikasi online.
Kondisi Budi dipantau dari jarak jauh oleh dokter kantor. Sesekali ia akan dikirimi suplemen berupa obat-obatan dan vitamin untuk membantu pemulihan.
Persis dua pekan Budi menjalani isolasi sebelum kemudian dinyatakan negatif. Ia mengaku relatif tak mengalami kesulitan apapun selama isolasi, kecuali hanya soal pemenuhan kebutuhan logistik.
Belakangan, soal itu, ia sempat meminta agar pihak kantor memastikan kebutuhan logistik bagi pegawai yang mengalami kondisi seperti dirinya.
"Jangan sampai fokus ke obat-obat aja, tapi masalah logistik diperhatikan juga. Bagaimana kebutuhan logistik dia selama isolasi," katanya.
Donor Plasma
Saat menjalani isolasi mandiri, Budi sempat menonton video yang diunggah Mardigu Wowiek di YouTube. Pengusaha asal Madiun, Jawa Timur, itu biasa dikenal Bossman Mardigu.
"Video tersebut menggugah kesadaran saya. Pentingnya untuk saling membantu dalam kondisi kayak gini," katanya.
Ia pun memutuskan untuk mendonorkan plasma darah konvalesen kepada seorang nenek 67 tahun pada Desember 2020 lalu. Sepekan setelah ia dinyatakan negatif. Informasi itu ia dapat dari sesama penyintas Covid-19 di kantornya.
Donor plasma konvalesen hanya bisa dilakukan oleh penyintas atau orang yang pernah terjangkit Covid-19. Donor ini dilakukan untuk memberikan sel darah yang sudah membentuk antibodi dari Covid-19. Harapannya, antibodi itu bisa membantu pasien untuk sembuh lebih cepat.
Budi tak pikir panjang. Tekadnya bulat. Ia akan mendonorkan plasma darah sebagai penyintas Covid-19.
Ia kemudian bertemu dr. Elsa di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD), Jakarta Pusat. Elsa adalah orang yang sedang mencari plasma darah untuk ibunya. Kondisi pasien kritis dan tengah dirawat di salah satu rumah sakit di Jakarta Timur.
"Saya enggak banyak pertimbangan, saya langsung nyatakan kesediaan dan langsung janjian," kata Budi.
Di RSPAD, ia harus menjalani prosedur pemeriksaan sebelum dinyatakan memenuhi syarat melakukan donor. Ia dua kali datang ke sana. Usai dinyatakan memenuhi syarat, sehari kemudian ia kembali untuk diambil sampel darah.
Saat itu, lima hari jelang Natal, ia ingat saat sebuah alat yang menyerupai mesin cuci darah mengambil darahnya hingga empat kali. Pengambilan sampel darah Budi dilakukan dalam waktu 1-1,5 jam dengan jeda.
Budi sempat disodori amplop sebagai imbalan donor, tapi ia menolak. Ia telah bertekad tak akan menerima imbalan apapun.
"Saya pikir kesadaran saya pribadi, bukan karena mengharapkan imbalan atau apapun. Murni pertimbangan kemanusiaan," katanya.
Usai proses donor, Budi mendapat kabar dari Elsa bahwa kondisi kesehatan ibunya mulai pulih. Ia juga meminta Budi mencarikan pendonor lain untuk temannya.
Budi nyaris akan kembali melakukan donor plasma darah kali kedua awal Januari lalu. Namun, donor kala itu batal lantaran pasien kadung meninggal kurang dari sehari jelang proses pengambilan sampel.
Pemerintah sempat mencanangkan Gerakan Nasional Pendonor Plasma Konvalesen pada 18 Januari 2021, lima hari setelah program vaksinasi Covid-19 diadakan. Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN) Airlangga Hartarto jadi salah satu penyintas yang mendonorkan plasma darahnya.
Ketua Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Doni Monardo menyatakan terapi plasma ini menjanjikan kesembuhan yang tinggi. Namun ia mengakui sulit mencari pendonor dari penyintas Covid-19. Gaung gerakan donor plasma tampaknya kalah dengan program vaksinasi.
Jalan Pandemi Budi
Kabar positif Covid-19 di akhir November itu tak mengagetkan Budi. Ia meyakini cepat atau lambat dirinya bakal terserang virus. Ia berpikir, itu berlaku bagi siapapun. Apalagi hidup di tengah kota dengan tingkat kasus corona tertinggi di Indonesia.
Namun, dari semua itu Budi meyakini satu hal: pandemi tak semengerikan dalam bingkai berita. Ia mengaku hal itu telah lama mengganjal di kepalanya.
"Kalau saya sih, kok merasa semua akan kena cepat atau lambat, apalagi mobilitas masyarakat sudah nyaris seperti biasa," kata dia.
"Di kantor saya mungkin sudah ada sekitar 30-an yang kena, rata-rata ya yang mereka rasakan ya, sakitnya enggak heboh-heboh amat," imbuhnya.
Saat dinyatakan positif dan menjalani isolasi mandiri, Budi menyebut gejalanya bahkan tak lebih berat dari sakit gigi atau flu berat. Ia mengaku pernah mengalami kondisi lebih buruk saat terkena Malaria dan Tuberkulosis (TBC).
Meski begitu, Budi tak menampik Covid-19 dalam beberapa kasus memang mengakibatkan kematian. Namun menurutnya, itu anomali, apalagi beberapa di antara kasus tersebut umumnya adalah pasien dengan penyakit bawaan atau komorbid.
"Teman yang meninggal juga ada, tapi itu suatu hal yang wajar atau bisa diterima akal. Apalagi beberapa di antaranya memang punya komorbid," kata dia.
Pandemi Covid-19, kata Budi, mestinya tak membuat seseorang ketakutan berlebihan, juga tidak boleh menganggap remeh. Semua orang tetap mematuhi protokol kesehatan.
"Meski saya punya keyakinan bahwa Covid ini enggak heboh-heboh amat, saya tetap melakukan ikhtiar terbaik. Tetap pakai masker, sering cuci tangan, istirahat yang cukup," kata Budi.
Ia yang kini memiliki dua anak, masih mampu bersepeda sejauh 18 kilometer bolak-balik ke kantor. Dan pandemi membuat hobi Budi bersepeda semakin menjadi-jadi.
Jika harus terserang Covid-19, kata Budi, hal yang penting dilakukan adalah istirahat, makan, berolahraga dan berjemur. Itu saja sudah cukup baginya.
(pmg/wis)