Dicky Budiman sibuk mengotak-atik ponsel pintarnya pada satu pagi di awal 2020. Penyakit radang paru-paru atau pneumonia misterius di Wuhan, China, tak bisa sedetik pun lenyap dari pikirannya. Ia menduga prediksi dalam risetnya kemungkinan terwujud dalam waktu dekat.
Dicky punya pengalaman sekitar 22 tahun di bidang ilmu tentang penyebaran penyakit menular. Ia pernah berkarier di Kementerian Kesehatan pada periode 2000-an. Bahkan ia sempat terlibat dalam penanganan wabah SARS, flu burung, flu babi, hingga HIV.
Sejak 2018, Dicky memulai riset terkait pandemi untuk gelar PhD di Universitas Griffith, Australia. Ia meneliti kemungkinan peradaban manusia memasuki era pandemi setelah 2020.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia memfokuskan penelitian pada pandemi dari kelompok virus corona. Menurutnya, epidemi atau pandemi selama 20 tahun terakhir disebabkan oleh kelompok virus tersebut.
Ia sempat memaparkan potensi ancaman pandemi kelompok virus corona di Guangdong, China, pada Oktober 2019 -dua bulan sebelum Covid-19 mewabah di Wuhan. Tapi, saat itu banyak orang menertawakannya. Padahal menurutnya secara keilmuan potensi ancaman pandemi sudah menguat kala itu.
Bekal pengalaman itu membuatnya yakin pandemi akan terjadi dalam waktu dekat. Sejumlah penelitian awal pun meyakinkannya. Kajian-kajian itu menyebut virus corona baru jadi penyebab pneumonia misterius di Wuhan.
Satu per satu kontak di ponselnya ia cek. Dari Negeri Kanguru, Dicky menghubungi nomor sejumlah kawan lama di instansi pemerintah Indonesia. Ia juga coba mengirim surel ke berbagai lembaga.
Dicky cuma punya satu misi: meminta Indonesia bersiap hadapi pandemi. Sejumlah usul ia siapkan, termasuk pembatasan kegiatan masyarakat berbasis komunitas.
Namun, upayanya bertepuk sebelah tangan. Sejumlah rekan di Kementerian Kesehatan takut menanggapi usul Dicky. Sebab saat itu pemerintah masih rajin menyangkal keberadaan SARS-CoV-2 di Indonesia.
"Saya mengirim surat ke beberapa institusi pemerintah, enggak dibalas. Enggak dibalas," kata Dicky sembari tertawa.
Pada pertengahan Februari 2020, saat sejumlah pakar mempertanyakan mengapa Covid-19 belum terdeteksi di Indonesia, pemerintah menanggapi enteng. Menteri Kesehatan saat itu, Terawan Agus Putranto, menyatakan bahwa kekuatan doa jadi penyebab virus corona tak masuk ke Indonesia.
Dicky tak patah arang. Ia sadar butuh gaung yang lebih besar untuk membukakan mata pemerintah dan publik Indonesia akan kedatangan pandemi.
Pria berkaca mata itu coba menulis soal ancaman pandemi di sejumlah media massa nasional. Dicky sempat mengirim tulisan prediksi bahwa Indonesia akan segera mengumumkan kasus Covid-19 pada awal Maret.
Tulisan itu ia kirim ke Harian Kompas. Ia juga menuliskan prediksi itu lewat akun Twitter pribadinya. Hari berikutnya, 2 Maret 2020, Pemerintah Indonesia mengumumkan 2 kasus pertama Covid-19.
Pengumuman itu mengubah hidupnya. Media massa nasional dan internasional berebut memberi panggung untuk Dicky.
Sebagian besar waktu Dicky habis untuk meladeni pertanyaan wartawan, baik dari media di Indonesia maupun internasional. Di satu sisi, ia juga harus menjalani tugas riset di The Centre for Environment and Population Health Universitas Griffith.
Rata-rata waktu kerja Dicky sehari bisa mencapai 12 jam. Sejak pandemi menerpa Indonesia, 40-60 persen waktu itu tersedot untuk menjawab pertanyaan media massa.
Ponsel pintarnya tak berhenti berdering siang-malam. Dia bilang, dalam satu hari ia bisa meladeni lima hingga tujuh stasiun televisi. Jumlah itu belum termasuk puluhan pesan singkat dan telepon dari wartawan surat kabar atau portal berita.
"Di awal-awal saya capek banget karena kan saya ada kerja juga di sini. Saya harus bikin tulisan, riset, baca, saya kan harus baca untuk update, kan," tutur Dicky.
Di awal masa pandemi ia harus bolak-balik mengangkat telepon dari jurnalis. Bahasan yang ia sampaikan pun mirip-mirip antara satu media dengan yang lain. Aktivitas itu cukup menguras waktu.
"Rata-rata dulu, (wartawan) menelepon lama dengan saya. Kayak ngasih kuliah. Saya ingin mereka harus paham," ujarnya. Menurutnya, kebanyakan jurnalis tak memiliki latar belakang ilmu kesehatan.
Belakangan setelah banyak orang mulai paham, Dicky menyiasati waktu. Ia menjawab pertanyaan jurnalis lewat rekaman suara di WhatsApp. Saat ada pertanyaan yang sama, ia tinggal meneruskan rekaman yang telah ia buat sebelumnya.
Dicky juga mengubah pola tidurnya selama pandemi. Ia hanya terlelap 3 jam sehari, dari pukul 01.00 hingga 04.00.
![]() |
Saat terbangun kemudian salat subuh, ia lalu memanfaatkan waktu 60-90 menit untuk membaca perkembangan terkini ihwal pandemi.
Dicky membaca berita dari berbagai media. Ia juga membaca kajian-kajian terbaru terkait pandemi. Dicky ingin memiliki pengetahuan paling terbaru agar memberi pernyataan yang tepat di media.
Saat pagi tiba, ia memasak untuk sarapan, kemudian bergegas ke kantor. Di kampus itu, Dicky menyandang status peneliti PhD.
Kala di perjalanan, ia mencuri waktu untuk menghubungi istri dan anaknya yang tinggal di Indonesia. Sesampainya di kantor, ia membagi waktu untuk penelitian dan sesi wawancara dengan media massa.
Begitu pun aktivitasnya ketika kembali ke rumah, Dicky tak langsung menyudahi hari. Ia masih menyediakan waktu hingga pukul 00.00 bagi wartawan yang dikejar deadline. Satu jam sebelum tidur, ia membaca berbagai jurnal ilmiah terkait pandemi untuk keperluan riset.
"Pengalaman saya dengan media ini, saya akui baru saat ini. Saya jadi kayak disebut seleb Covid," ucapnya diiringi gelak tawa.
Dicky mengaku tak pernah ditegur oleh Universitas Griffith karena separuh waktunya habis di media massa. Menurutnya, Griffith justru mendukung karena ini jadi bagian dari sumbangsih dalam penanganan pandemi.
"Sebelum saya wawancara, saya akan lakukan riset kecil. Itu bermanfaat dan menunjang riset saya di sini, karena saya di sini memang untuk riset pandemi," ujar Dicky.
Di Australia, Dicky hidup seorang diri. Ia belanja, memasak, hingga mengatur jadwal kegiatan sendiri.
Sebelum pandemi, biasanya keluarga Dicky berkunjung ke Australia tiga sampai empat bulan sekali. Terakhir kali keluarga Dicky berkunjung saat malam pergantian tahun 2020.
Dicky tak menyangka liburan itu jadi momen terakhir ia bertemu dengan keluarga. Karena tugas di Australia, ia terpaksa menunda pertemuan dengan orang-orang terkasih hingga pandemi usai.
"Sudah satu tahun lebih enggak ketemu keluarga. Saya sendiri di sini," ujarnya.
Ia mengaku kesulitan punya waktu pribadi sejak pandemi. Bahkan kadang akhir pekan harus dipakai untuk kepentingan riset atau memberi keterangan di media massa.
Hanya satu kali dalam sebulan Dicky pergi ke pantai atau alam bebas. Begitulah cara dia melepas penat dari keseharian menghadapi pagebluk. Setiap Sabtu-Minggu, ia juga coba keluar rumah untuk berbelanja.
Meski waktu pribadinya tergerus, Dicky tak merasa keberatan.
"Karena penting sekali untuk memberikan pencerahan, pemahaman berbasis sains yang saya lihat sangat diperlukan untuk dasar kebijakan di Indonesia yang harus terus diluruskan, diingatkan bahwa ini belum selesai," ucapnya.
"Ini yang membuat saya tidak terlalu mempermasalahkan me time," Dicky melanjutkan.
Hari demi hari Dicky lewati dengan memberi masukan ke pemerintah ihwal penanganan pandemi. Selain lewat media massa, ia juga menyampaikan kritik serta masukan via akun Twitter @drdickybudiman.
Tak jarang, Dicky mendapat serangan berkat kritiknya. Terlebih lagi jika sudah menyinggung kebijakan pemerintah.
Namun, ia menyebut serangan tak sebrutal yang dialami koleganya, Epidemiolog Pandu Riyono. Dicky menyebut serangan hanya berupa ucapan kasar di kolom komentar Twitter dan Facebook. Tak sampai ada peretasan atau ancaman keamanan.
"Biasalah ada buzzer lah, ada pembela kebijakan pemerintah, pembela fanatik," tutur Dicky.
Pikirannya tergelitik saat mengingat serangan buzzer sekitar Oktober 2020. Saat itu, Dicky mengungkap prediksi bahwa Indonesia akan mencetak 10 ribu kasus per hari dalam waktu dekat.
"Ada yang nyerang, 'Mana mungkin?! Kalau enggak (terjadi) 10 ribu (kasus per hari), enggak usah jadi epidemiolog lagi.' Begitulah. Ha-ha-ha," tuturnya menirukan cuitan buzzer.
Dicky awalnya merasa harus meluruskan serangan-serangan itu. Ia menjawab cuitan demi cuitan dengan penjelasan ilmiah.
Namun, serangan tak kunjung berhenti. Ia pun memutuskan berhenti meladeni para pendengung.
"Mereka bukan orang ilmiah ternyata, lebih emosional. Sehingga daripada puyeng sendiri, saya enggak pernah jawab lagi. Saya mah EGP (emang gue pikirin)," ucapnya berseloroh.
Dicky banyak tertawa saat disinggung soal kinerja pemerintah menangani pandemi. Ia merasa pengendalian pandemi di Indonesia jalan di tempat.
Pria yang telah berkiprah sebagai epidemiolog selama puluhan tahun itu merasa pemerintah telat merespons pandemi. Aspek tes, telusuri, dan tindak lanjut (3T) juga tak berkembang secara signifikan dalam satu tahun.
Jumlah tes, kata dia, jauh dari ideal. Bahkan, saat pemerintah mengumumkan tes akan meningkat dengan swab antigen, jumlah spesimen yang dites justru turun.
![]() |
Pada Kamis (18/2), Satuan Tugas Penanganan Covid-19 mengakui bahwa pemeriksaan warga terhadap virus corona mengalami penurunan drastis. Angkanya di bawah ambang batas yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
WHO menetapkan standar pemeriksaan 1:1.000 penduduk per pekan. Dengan asumsi populasi Indonesia mencapai 270 juta jiwa, maka sewajarnya 270 ribu orang diperiksa per pekan.
Jika menilik laporan harian Satgas Covid-19, jumlah tes justru berada di bawah angka itu. Pada 11 Februari sebanyak 38.401 orang diperiksa, kemudian 12 Februari 35.404 orang, 13 Februari 24.889 orang, dan 14 Februari 24.250. Selanjutnya 15 Februari 19.626, lalu 16 Februari 26.156, 17 Februari Satgas tak melaporkan kasus orang diperiksa, pada 18 Februari 22.556 orang diperiksa. Total 191.282 orang dites per pekan.
Selain itu, kata Dicky, pemerintah juga dinilai mengabaikan masukan-masukan para ahli. Ia berpendapat upaya Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan berdiskusi dengan para ahli tak cukup.
"Agak telat. Setelah berdiskusi pun dengan Pak Luhut, masih dipilih-pilih juga mana yang pas untuk pemerintah," tutur Dicky kembali tertawa.
Dicky sempat terbersit untuk berhenti memberi masukan kepada pemerintah. Sebab saran ilmiahnya selama ini selalu dikalahkan. Pemerintah cenderung membuat kebijakan yang sesuai dengan kepentingan ekonomi di tengah pandemi.
Namun, ia tak putus asa. Dicky merasa punya tanggung jawab membenahi penanganan pandemi di Indonesia. Terlebih ia bakal menyandang status sebagai Ahli Keamanan Kesehatan Global satu-satunya di Indonesia.
Selain itu, keluarga, teman kalangan dokter, kelompok sipil pemerhati kesehatan, hingga awak media menjadi pelecut baginya untuk terus berkontribusi pada penanganan pandemi.
"Prinsip saya, selalu tidak ada kata terlambat untuk perbaikan kalau kita mau menyelamatkan banyak nyawa," kata Dicky.
(pmg)