LaporCovid19 Kritik Salah Sistem RS Tangani Pasien Darurat

CNN Indonesia
Rabu, 03 Mar 2021 11:35 WIB
Penolakan rumah sakit terhadap pasien Covid-19 seharusnya tidak terjadi jika menerapkan sistem kedaruratan dan memiliki dokter spesialis emergency.
Foto ilustrasi rumah sakit. (Dok. Istimewa)
Jakarta, CNN Indonesia --

Relawan LaporCovid19 sekaligus dokter spesialis emergency di bawah Kementerian Kesehatan Tri Maharani mengkritik sistem kebanyakan rumah sakit dalam menangani pasien Covid-19 kondisi darurat.

Tri menyoroti banyak kasus penolakan pasien oleh rumah sakit dengan alasan kapasitas penuh.

Sebagai dokter spesialis emergency, Tri menilai penolakan rumah sakit terhadap pasien telah keliru. Menurut dia, kasus tersebut mestinya tak terjadi, kecuali rumah sakit selama ini telah salah menerapkan sistem kedaruratan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Ini hubungannya dengan kasus Depok, kenapa aku bilang sebenarnya itu salah di sistem dan prehospital-nya. Karena andai di Depok ada spesialis emergency kayak aku begini, maka tidak ada orang ditolak dari UGD meski ICU penuh," kata dia kepada CNNIndonesia.com, Selasa (16/2).

Pernyataan Tri soal kasus pasien Covid-19 asal Depok merujuk pada seorang warga yang meninggal dalam mobil taksi setelah ditolak 10 rumah sakit akhir Januari lalu. Kasus tersebut sempat ditangani LaporCovid-19, termasuk Tri yang tergabung di dalamnya.

Dinas Kesehatan Kota Depok hingga saat ini mengaku belum mendapat informasi kasus tersebut. Mereka beralasan sumber mereka enggan membuka identitas pasien maupun keluarga.

Namun, menurut Tri, Dinas Kesehatan Kota Depok mestinya dapat menemukan identitas korban dengan mudah jika sistem administrasi mereka bekerja dengan baik.

"Nah, jadi menurut pendapatku sebetulnya kasus penolakan di Depok itu andai sistem prehospital-nya bagus, enggak bakal terjadi," kata dia.

Prehospital care unit yang dimaksud Tri adalah subspesialisasi medis yang fokus pada perawatan pasien kritis sebelum masuk rumah sakit, termasuk selama perujukan darurat antar-rumah sakit.

Dr. Tri Maharani, Selasa (16/2/2021). CNN Indonesia/Andry Novelino(CNN Indonesia/Andry Novelino)

Sayangnya, kata Tri, saat ini tak semua rumah sakit memiliki dokter emergency. Indonesia saat ini total hanya memiliki 70 dokter spesialis emergency, termasuk dirinya. Jumlah itu terbilang sedikit bila dibandingkan dengan Malaysia yang memiliki sedikitnya 800 dokter spesialis emergency atau Singapura yang mencapai 2.000 dokter tersebut.

Belum lagi, lanjutnya, dari total 70 dokter spesialis itu sebagian besar masih terpusat dan hanya berada di kota-kota besar seperti Ibu Kota.

"Terbanyak memang di Jakarta, itu pun RS swasta. Jadi begini, RS Siloam, Pelni, mereka berani bayar kita Rp40 juta tapi semuanya all in," kata dia.

Lebih lanjut, Tri turut menyoroti kasus di Depok sebab hingga saat ini Pemkot Depok mengaku belum menerima identitas pasien tersebut. Menurut dia, hal itu mestinya tak bakal terjadi andai 10 RS memiliki sistem pencatatan yang baik.

Sebab, katanya, setiap rumah sakit mestinya dapat mencatat siapapun pasien yang datang ke UGD, meski dalam penanganan pasien tersebut kemudian dirujuk. Menurut Tri, pencatatan seperti demikian masuk dalam daftar akreditasi sebuah rumah sakit atau yang dikenal dengan sistem Akses keRumah Sakitdan Kontinuitas Pelayanan (ARK).

Lewat sistem itu, rumah sakit harus melakukan setiap proses penanganan pasien sejak awal mulai dari screening, pendaftaran, hingga triase pengelompokan.

Nantinya, ujar Tri, rumah sakit dapat mengelompokkan pasien gawat darurat dan pasien gawat tidak darurat.

"Jadi kalau mereka sampai ngomong tidak tahu, ya salah. Berarti pendaftaran mereka itu lemah. Harusnya kan enggak boleh," katanya.

"Ada sistem itu, berarti itu kolaps semua. Berarti akreditasi 10 rumah sakit itu, gagal semua. Kalau akreditasi itu gagal, mereka enggak bisa klaim BPJS. Artinya sistem di Depok buruk," imbuhnya.

(thr/pmg)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER