Jakarta, CNN Indonesia --
Polisi virtual alias virtual police menuai sorotan dan kritik belakangan ini karena sempat menjemput seorang warganet asal Slawi, Jawa Tengah, AM, yang menulis komentar di unggahan akun @garudarevolution terkait Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka.
Dalam komentarnya itu, AM menyindir soal pengetahuan putra sulung Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) itu tentang sepak bola dan jabatannya di Solo. Polresta Solo pun disebutkan langsung menjemput AM dari Slawi untuk dibawa ke markas polisi di kota tempat Gibran memimpin tersebut.
Di sana, petugas mengklarifikasi kepada AM di mana sang penulis komentar tersebut pun menyampaikan permintaan maaf dan menghapus unggahannya di medsos.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setelah permintaan maaf disampaikan, Polresta Solo pun memulangkan yang bersangkutan tanpa dilakukan penahanan. Semua proses itu pun terdokumentasi dan diunggah ke akun medsos milik Polresta Solo.
"Komentar tersebut sangat mencederai KPU, Bawaslu, TNI, Polri, dan seluruh masyarakat Kota Solo yang telah menyelenggarakan Pilkada langsung sesuai UUD 1945," kata Kapolresta Solo Kombes Pol Ade Safri Simanjuntak saat dikonfirmasi.
Meski tak berproses hukum secara pidana, namun upaya kepolisian menjemput dan memberikan peringatan kepada AM telah menuai kritik lantaran dinilai mengekang demokrasi. Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), menilai bahwa pernyataan AM itu hanya sebagai olok-olokan atau kesinisan.
Direktur Eksekutif SAFEnet, Damar Juniarto mempertanyakan penentuan kategori hoaks oleh tim polisi virtual itu. Menurutnya, dasar penilaian polisi patut dipertanyakan, mengingat media sosial kini menjadi ranah berinteraksi yang paling banyak dilakukan oleh warga Indonesia, atau lebih dikenal dengan istilah warga +62.
Sebaliknya, Ade Safri menegaskan langkah yang dilakukan jajarannya di Polresta Solo itu sebagai bagian dari restorative justice. Restorative justice adalah suatu pendekatan yang lebih menitikberatkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya.
Pendekatan itu sendiri terdapat dalam instruksi Kapolri Jenderal Pol Lisyto Sigit Prabowo kepada jajarannya di Indonesia lewat Surat Edaran nomor SE/2/II/2921 tertanggal 19 Februari 2021. SE yang keluar setelah Jokowi mewacanakan revisi Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dalam Rapim TNI-Polri itu berisi pedoman bagi penyidik dalam memproses kasus-kasus tersebut di Indonesia.

Pendekatan
restorative justice adalah poin pertama yang ditekankan Listyo dari total 11 poin instruksi dalam SE itu.
"Korban yang tetap ingin perkaranya diajukan ke pengadilan namun tersangkanya telah sadar dan meminta maaf, terhadap tersangka tidak dilakukan penahanan dan sebelum berkas diajukan ke JPU agar diberikan ruang untuk mediasi kembali," kata Listyo dalam poin I surat edaran yang dikeluarkan.
Sejarah Kelahiran Polisi Virtual
Menilik ke belakang, virtual police sendiri merupakan satuan tugas baru yang digagas Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo saat masih berpangkat Komisaris Jenderal dan akan berstatus sebagai calon Kapolri.
Tim polisi virtual yang berpusat di Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri itu pertama kali diperkenalkan dirinya saat mengikuti fit and proper test di Komisi III DPR RI. Semangat Listyo untuk mewujudkan tim tersebut adalah agar dapat memberi edukasi kepada masyarakat sehingga potensi pelanggaran pidana di jagat dunia maya dapat ditekan.
Virtual Police pun telah resmi beroperasi sejak 24 Februari 2021. Mereka ditugaskan untuk memantau konten-konten yang berseliweran di media sosial.
Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, Brigadir Jenderal Slamet Uliandi menjelaskan konten yang diawasi ialah yang bermuatan hoaks ataupun hasutan di berbagai platform seperti Facebook, Twitter, dan Instagram.
Apabila virtual police menemukan konten yang terindikasi melakukan pelanggaran itu, maka tim akan mengirimkan peringatan lewat medium pesan atau direct message ke pemilik akun.
"Tahapan-tahapan strategi yang dilakukan melalui beberapa proses. Pertama edukasi, kemudian peringatan virtual," kata Slamet dalam keterangan tertulisnya beberapa waktu lalu.
 Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo. (Tangkapan Layar Youtube Setpres) |
Dalam hal ini, polisi virtual yang memberikan teguran akan meminta pemilik akun menghapus konten yang berpotensi melanggar pidana dalam waktu 1x24 jam, peringatan akan diberikan dua kali untuk penghapusan akun.
Polisi, kata dia, melakukan kajian terhadap konten bersama dengan sejumlah ahli seperti ahli bahasa, ahli pidana, hingga ahli ITE.
Apabila tak direspons, baru pemanggilan terhadap pemilik akun untuk diklarifikas polisi itu dilayangkan. Dalam hal ini, polisi mengklaim akan menekan upaya penindakan hukum secara pidana sebagai langkah terakhir.
"Kami lakukan mediasi, restorative justice. Setelah restorative justice baru laporan polisi. Sehingga tidak semua pelanggaran atau penyimpangan di ruang siber dilakukan upaya penegakan hukum melainkan mengedepankan upaya mediasi dan restorative justice," ucap dia.
Meskipun demikian, tak semua kasus dapat dikedepankan upaya restorative justice. Slamet menerangkan hal itu hanya dapat dilakukan terhadap dugaan kasus pencemaran nama baik, fitnah, penghinaan. Ia menyebut pelaku yang terlibat di kasus tersebut bisa tidak ditahan.
Hingga Jumat (12/3) lalu, sudah ada 89 akun yang mendapat teguran dari kepolisian berdasarkan patroli polisi virtual. Sejatinya, ada 125 akun sosial media yang terindikasi melanggar pidana.
Hanya saja, setelah dilakukan verifikasi lebih lanjut dan pemeriksaan keterangan dari ahli, hanya ada 89 yang dapat ditegur kepolisian.89 akun sosial media yang mendapatkan teguran virtual police adalah 40 akun telah mendapatkan peringatan pertama, 12 akun mendapatkan peringatan kedua, 16 akun tidak dikirim, dan 21 akun gagal terkirim.
Platform akun sosial media yang paling banyak terkena teguran paling banyak berasal dari Twitter. Kemudian disusul Facebook, Instagram, Youtube, dan Whatsapp.
Belakangan, Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri menyatakan bakal memberikan hadiah berupa badge atau lencana kepada masyarakat yang aktif dalam melaporkan dugaan tindak pidana yang terjadi di media sosial. Pengumuman itu, disebarkan secara langsung melalui akun Instagram resmi @ccicpolri pada Kamis (11/3) lalu.
"Badge Awards: Badge yang akan diberikan kepada masyarakat yang aktif berpartisipasi melaporkan dugaan tindak pidana di media sosial," tulis keterangan dalam gambar yang diunggah Instagram @ccicpolri dan dikutip pada Selasa (16/3).
Dalam pengumuman tersebut belum dirinci mengenai mekanisme ataupun pelaporan yang dimaksud. Kabagpenum Polri Kombes Pol Ahmad Ramadhan mengatakan pemberian badge itu belum menjadi keputusan karena masih berupa wacana yang sedang dikaji.
"Masih dalam perencanaan. Masih akan diukur, nominasi apa yang akan diberikan kepada seseorang yang menerima badge awards," kata dia kepada wartawan di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Rabu (17/3).
Kriminolog dari Universitas Indonesia (UI) Iqrak Sulhin mengingatkan pemberian badge itu berpotensi memicu perpecahan di antara masyarakat. Iqrak justru khawatir wacana tersebut bakal menimbulkan masalah baru bagi kepolisian.
"Secara hipotetik bisa menciptakan ketegangan baru di masyarakat," ungkap Sulhin saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu.
Pasalnya, sambung Iqrak, belum ada kriteria unggahan yang pantas dilaporkan atau tidak. Selain itu, menurut dia upaya tersebut juga akan memicu perilaku kolektif publik yang tidak terukur. Dan, sambungnya, kemungkinan pelaporan karena unsur ketidaksukaan belaka.
 Putra sulung Presiden RI Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka yang kini memimpin Solo sebagai wali kota. (ANTARA FOTO/MOHAMMAD AYUDHA) |
Meluruskan Restorative Justice
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai langkah Polresta Surakarta menjemput AM di Slawi itu sebagai langkah mundur kebebasan berpendapat dan demokrasi. Apalagi, kemudian diketahui Gibran mengaku tak pernah melaporkan komentar AM itu ke polisi di manapun.
"Meskipun telah dilepaskan, ICJR menilai tindakan penangkapan yang dilakukan oleh kepolisian tersebut merupakan tindakan yang berlebihan dan merupakan langkah mundur pascapidato Presiden Jokowi soal kebebasan berpendapat dan demokrasi," tulis peneliti ICJR Sustira Dirga melalui keterangan tertulis yang diterima CNNIndonesia.com, Selasa (16/3).
Sustira mengatakan kasus tersebut menunjukkan bahwa masalah utama dari batasan kebebasan berpendapat bukan hanya pada UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang ramai didorong agar segera direvisi. Namun juga pada pemahaman aparat penegak hukum dalam penerapan beleid tersebut.
"Maka yang menjadi pertanyaan dalam penangkapan warga tersebut, apakah Gibran membuat pengaduan kepada kepolisian atau tidak. Jika tidak, maka kepolisian telah salah dalam menerapkan Pasal 27 ayat (3) UU ITE," tutur Sustira.
Sementara, ia menilai Pasal 28 ayat (2) UU ITE yang sering digunakan untuk menyasar kelompok atau individu yang mengkritik institusi juga tidak tepat karena komentar AM ditujukan kepada Gibran yang merupakan seorang individu.
Pendapat ini menurut Sustira juga didukung Putusan Mahkamah Konstitusi No. 013-022/PUU-IV/2006 tentang Pengujian Pasal 134, Pasal 136 bis dan Pasal 137 ayat (1) KUHP tentang penghinaan presiden. Sustira mengatakan dalam putusan tersebut MK mengingatkan dalam pertimbangannya agar penggunaan pasal pidana yang mengkriminalisasi kritik terhadap badan pemerintah harus dihindari oleh aparat penegak hukum.
Ia mengatakan restorative justice seharusnya merupakan upaya pemulihan kondisi antara pelaku, korban dan masyarakat. Sementara dalam kasus ini, ia menduga tak ada korban yang dirugikan karena Gibran tidak melaporkan kasus tersebut.
"Tindakan polisi bukan merupakan restorative justice. Dan hal ini sangat berbahaya sebab justru menimbulkan iklim ketakutan pada masyarakat dan tidak memulihkan," tambahnya.
Sustira menilai kasus AM warga Slawi yang mengomentari Gibran membuktikan keberadaan polisi virtual justru mengancam dan memperburuk demokrasi dan menciptakan ketakutan bagi masyarakat untuk mengkritik pemerintah. Ia menyarankan sebaiknya polisi virtual difokuskan untuk menangani kejahatan siber yang marak di media sosial, seperti penipuan online.
Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), Damar Juniarto mempertanyakan penentuan kategori hoaks oleh tim virtual police atau polisi virtual. Padahal, menurut Damar, komentar AM soal Gibran tidak termasuk hoaks atau berita bohong melainkan olok-olok. Oleh karena itu dia mempersoalkan dasar penilaian tim virtual police.
"Yang susah dari virtual police itu kan dasar penilaiannya. Kalau dalam kebanyakan kasus, 89 tentang ujaran kebencian. Kalau yang di Slawi ini kan tentang hoaks. Ini dasarnya apa?" ucap Damar kepada CNNIndonesia.com, Selasa.
"Kalau dilihat dari postingannya ini lebih ke olok-olok/sinisme tentang kapasitas Gibran sebagai Wali Kota Solo dalam mengurusi sepak bola, karena kan AM ini kan lebih banyak menyoroti permintaan Gibran agar semifinal dan final digelar di Solo," lanjut dia.
Damar mengatakan, penindakan di Slawi menunjukkan kekhawatiran akan keberadaan virtual police benar adanya.
Kabagpenum Polri Kombes Pol Ahmad Ramadhan membantah kepolisian menangkap atau menjemput AM--warga Slawi--untuk dibawa ke Mapolresta Solo. Ia justru mengklaim AM datang sendiri ke markas polisi.
"Datang sendiri dan yang bersangkutan bermaksud ingin meminta maaf, kooperatif," kata Ramadhan kepada wartawan di Mabes Polri, Jakarta, Rabu.
Menurutnya, masalah tersebut telah selesai setelah AM meminta maaf. Polisi, kata dia, tidak melanjutkan perkara tersebut ke jalur hukum.