Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tak meningkatkan target penurunan emisi gas rumah kaca terkait dengan sulitnya untuk segera menghapus secara bertahap pemakaian batu bara.
Target penurunan emisi itu sendiri terdapat dalam Nationally Determined Contribution (NDC) atau komitmen negara pada Persetujuan Paris untuk menekan krisis iklim. KLHK tetap memiliki target 29 persen sampai 41 persen penurunan emisi pada 2030.
Padahal, aktivis dan pemerhati lingkungan berulang kali mendesak pemerintah meningkatkan batas minimal target penurunan emisi karena dinilai tak cukup memerangi perubahan iklim.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Direktur Jenderal Pengelolaan Perubahan Iklim KLHK Runadha Agung Sugardiman mengatakan pihaknya realistis dengan kemampuan Indonesia.
"Kita mampunya seperti ini. Coba kita tingkatkan NDC jadi penurunan [emisi] 50 persen. Apa bisa kita segera melakukan phashing out batu bara segera? Enggak bisa," cetusnya, dalam konferensi pers daring bersama rekan media, Jumat (19/3).
Runadha mengklaim target NDC Indonesia sebenarnya sudah lebih baik dari beberapa negara di dunia. Ia mencontohkan Amerika Serikat misalnya yang menargetkan penurunan emisi 28 persen, satu persen di bawah Indonesia.
Angka 29 persen, kata Ruandha, didapat setelah pemerintah mengkalkulasi kondisi pembangunan, lingkungan hingga populasi negara. Target penurunan emisi itu dinilai cukup untuk mencapai target Indonesia bebas emisi di tahun 2070 sembari mempertahankan peningkatan pembangunan.
"Negara lain ada yang 20 persen, 30 persen dan sebagainya. Tapi mereka hanya state gitu aja, enggak ada dokumen yang bisa kita lihat bahwa ada road map, langkah yang bisa baca meyakinkan dunia itu bisa tercapai," kata dia.
"Kita angka 29 persen sudah dilengkapi dengan dokumen yang rinci. Ada mitigasinya, roadmap-nya sehingga membuat dunia yakin langkah yang disusun Indonesia realistis seusai dengan kondisi Indonesia," tambahnya lagi.
Ruandha menjabarkan ada dua sektor yang difokuskan pemerintah untuk mencapai target itu. Yang pertama dengan menurunkan laju deforestasi dan memaksimalkan pengelolaan gambut.
Berdasarkan data inventarisasi emisi yang ia paparkan, produksi emisi gas rumah kaca secara nasional sepanjang tahun 2019 mencapai 1.886.552 Gg karbon dioksida ekuivalen.
Sebanyak 50 persen dari angka tersebut berasal dari pangan dan tata guna lahan (FOLU) atau dari deforestasi. Ruandha mengatakan penambahan emisi kerap kali sangat berdampak pada kejadian kebakaran hutan dan lahan.
Sektor kedua dengan memetakan persentase bauran energi primer hingga tahun 2050. Sektor energi menyumbang 34 persen dari total produksi emisi pada 2019.
Dalam hal ini, KLHK punya tiga skenario berbeda yang diterapkan secara bertahap. Pada skenario yang paling agresif, bauran energi primer pada 2050 meliputi batu bara 39 persen, gas 12 persen, minyak 17 persen dan energi baru terbarukan 32 persen.
Dengan penerapan skenario itu, KLHK memperkirakan produksi emisi gas rumah kaca bakal turun menjadi sekitar 550 juta ton karbon dioksida ekuivalen.
Komitmen Iklim yang Buruk
Klaim realistis dan keyakinan KLHK mencapai target bebas emisi pada 2070 berbanding terbalik dengan penilaian yang dilakukan Climate Action Tracker (CAT).
CAT merupakan analisis ilmiah independen yang dilakukan dua organisasi penelitian global, Climate Analytics dan New Climate, untuk melacak kebijakan iklim dunia.
![]() |
Mengutip situs resmi CAT, komitmen Indonesia dalam aksi iklim diberikan nilai merah atau sangat tidak memadai (higly insufficiant).
Peran Indonesia dinilai belum bisa mendukung upaya global menahan penurunan suhu kurang dari 2 derajat celcius. Jika upaya tersebut dipertahankan, penurunan suhu dunia bisa mencapai 3-4 derajat Celcius.
"Program Pemulihan Nasional pemerintah tidak mendukung opsi rendah karbon. Alih-alih, ia (Indonesia) justru menjamin utilitas listri berbobot baru bara. CAT terus menilai Indonesia 'Sangat Tidak Memadai'," tulis CAT dalam situsnya.
CAT menyoroti upaya pemerintah yang justru mendukung penggunaan bahan bakar fosil dengan memberikan sebagian besar rencana pemulihan Covid-19 kepada PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Rencana pemerintah mengoperasikan total 27 gigawatt listrik berbahan bakar batu bara pada 2028 juga dikritik.
Indonesia, katanya, merupakan satu dari lima negara yang justru memilih pembangunan pabrik batu bara baru di tengah bahaya krisis iklim dan memiliki pipa batu bara terbesar keempat di dunia.
Direktur Eksekutif Yayasan Indonesia Cerah Adhityani Putri mengatakan Indonesia bergantung pada batu bara dalam sejumlah sektor. Misalnya, proyek PLTU 12 Gigawatt.
"Indonesia sulit beralih dari batu bara karena bukan hanya merupakan konsumen batu bara, tetapi juga merupakan produsen batu bara. Sehingga terdapat banyak sekali kepentingan bisnis dan politik yang ingin melanggengkan industri ini," kata dia, Rabu (23/12/2020).
Dalam studi yang diterbitkan pada September 2020, Greenpeace menganggap upaya Indonesia melakukan transisi energi untuk melawan kenaikan suhu hingga 1,5 derajat Celcius bernilai F atau yang terburuk dari negara Asia Tenggara lainnya.
Pasalnya, tidak ada usaha keras yang dilakukan pemerintah untuk menggeser kebutuhan energi fosil ke energi terbarukan.
(fey/arh)