KLHK Fokus di Kehutanan Tekan Emisi, LSM Soroti PLTU

CNN Indonesia
Rabu, 16 Des 2020 04:09 WIB
KLHK berharap 23 persen penurunan emisi gas kaca hingga 2030 berasal dari sektor kehutanan, sementara Greenpeace dan Walhi menyoal PLTU pencemar udara.
Ilustrasi emisi. (Foto: Istockphoto/ Acilo)
Jakarta, CNN Indonesia --

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menargetkan sektor kehutanan bisa berkontribusi dalam menurunkan emisi gas rumah kaca hingga 23 persen pada tahun 2030.

Hal itu dikritisi mengingat masih ada sumber emisi lain yang terus berkembang dan dipelihara, yakni Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). 

"Di antara target penurunan NDCs (National Determined Contributions) 29 persen hingga 41 persen, sektor kehutanan diharapkan berkontribusi antara 17,2 hingga 23 persen," ungkap Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK Ruandha Agung Sugardiman, dikutip dari Youtube Badan Litbang dan Inovasi KLHK, Selasa (15/12).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia menjabarkan secara keseluruhan target 29 persen merupakan pencapaian yang harapannya bisa diupayakan secara mandiri. Sedangkan target 41 persen dibidik dengan kerjasama internasional.

Dari total target tersebut, Ruandha mengatakan 97,2 persen diantaranya difokuskan di sektor kehutanan dan lahan serta energi. Sedangkan sisanya di sektor pertanian, industri, transportasi dan limbah.

Sekretaris Jenderal KLHK Bambang Hendroyono mengatakan upaya pemerintah menekan deforestasi dan degradasi hutan menjadi salah satu cara yang difokuskan untuk menurunkan emisi.

Menurutnya, hal ini tercermin dari laju deforestasi ya ia klaim terus menurun dari 0,48 juta hektar tahun 2016-2017 menjadi 0,44 juta hektar tahun 2017-2018.

"Untuk itu deforestasi tidak boleh melebihi 450 ribu hektar pada tahun 2020, dan 325 ribu hektare pada tahun 2030," tuturnya.

Sementara itu, Greenpeace Indonesia menilai upaya pemerintah dalam mengejar target penurunan emisi justru memperburuk krisis iklim.

Peneliti Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Adila Isfandiari mencontohkannya dengan rencana Indonesia menambah kapasitas Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), salah satu sektor penyumbang emisi terbesar.

"Sektor kehutanan dan energi menjadi dua penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar Indonesia. Tahun 2030, proyeksi total emisi kedua sektor tersebut 83 persen," jelasnya, dikutip dari situs Greenpeace.

Bila semua PLTU beroperasi, kata dia, maka pada 2080 diprediksi akan ada total kapasitas 55 Gigawatt yang menyumbang hingga 330 juta ton emisi per tahun.

Sementara, perkembangan energi terbarukan baru mencapai 14,69 persen. Ini jauh dari target di tahun 2025 yang diharapkan bisa sampai 23 persen. Adila mengatakan target itu membutuhkan tambahan pembangkit energi terbarukan hingga 10 Megawatt.

Ia menyebut kebakaran hutan dan lahan juga masih jadi momok di sektor kehutanan. Greenpeace Asia Tenggara mencatat setidaknya ada 4,4 juta hektare--8 kali luas Pulau Bali--yang terbakar sepanjang 2015-2019.

Sebanyak 30 persen atau 1,3 juta hektare di antaranya berada di konsesi sawit dan bubur kertas, bisnis yang eksis di sektor kehutanan.

Ia mengatakan emisi dari karhutla lima tahun belakangan itu setara dengan emisi dari 110 PLTU batu bara atau 91 juta mobil.

Infografis Jenis dan 'Biang Kerok' Polusi UdaraInfografis Jenis dan 'Biang Kerok' Polusi Udara. (Foto: CNNIndonesia/Asfahan Yahsyi)

Situasi ini menurut Adila pun tak terselesaikan dengan solusi co-firing batu bara dan program biodiesel dari pemerintah. Kedua program ini, sambung dia, justru berpotensi meningkatkan produksi sawit yang bisa menambah angka deforestasi hutan dan merusak gambut.

Industri Kotor

Senada, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) berpendapat target NDCs Indonesia belum cukup ambisius dan bahkan dinilai bisa mendorong peningkatan suhu bumi hingga 3-4 derajat celcius.

"Komitmen penurunan emisi ini dibandingkan dengan skenario tanpa intervensi atau business as usual (BAU). Komitmen tersebut tidak cukup untuk berkontribusi secara global menahan suhu bumi tidak melewati 1,5 derajat celcius," ujar Manajer Kampanye Keadilan Iklim Walhi Yuyun Harmono melalui keterangan tertulis.

Ia juga mengkritik target pemerintah yang hanya fokus pada sektor kehutanan, alih-alih menekan sektor energi yang masing longgar hingga 10 tahun ke depan.

Menurut Yuyun, dengan begini sektor energi akan menjadi sumber emisi terbesar melampaui kehutanan. Sedangkan sumber energi fosil masih menjadi andalan pemenuhan energi nasional.

"Agenda untuk mentransformasi ekonomi tidak lagi tergantung pada ekspor komoditas yang menghancurkan lingkungan dan memperparah krisis iklim hanya isapan jempol di tengah semakin menguatnya keberpihakan pemerintah pada pelaku industri kotor ini. Ekonomi (ekstraktif) masih menjadi panglima," cetusnya.

Ia menilai mitigasi perubahan iklim yang dilakukan Indonesia pun belum bisa menjawab akar permasalahan krisis. Begitu juga dengan pendanaan yang masih bergantung pada dagang karbon, korporasi dan negara maju yang tidak bertanggung jawab atas penurunan emisi secara drastis.

(fey/arh)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER