Teror Bom Makassar, 2 Dekade Api Dendam Tak Pernah Padam
Aksi bom bunuh diri terjadi di Gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan, Minggu (28/3), dinilai memiliki motif dendam. Penindakan aparat yang diduga tak sesuai prosedur dan kegagalan program deradikalisasi pun disorot.
Sebelumnya, ledakan bom bunuh diri terjadi di sekitar Gereja Katolik Katedral Makassar, Minggu (28/3), pukul 10.28 WITA, di saat jemaat baru saja selesai melaksanakan Misa Minggu Palma.
Menurut polisi, terduga pelaku terdiri atas dua orang yang merupakan suami istri yang berboncengan sepeda motor dan ingin menerobos masuk ke dalam gereja.
Akibat insiden itu, 20 orang mengalami luka ringan hingga berat, termasuk petugas gereja dan jemaat.
Teror bom ini menambah panjang peristiwa yang terjadi di Indonesia beberapa tahun belakangan. Jika merujuk data yang dirilis Public Virtue Research Institute, dalam dua dekade terakhir, ada sembilan kasus ledakan bom yang terjadi sejak 2000.
Rinciannya, yakni Bom Bali I (2002), Bom JW Marriot (2003), Bom Bali II (2005), Bom Ritz Carlton (2009), Bom Masjid Az-Dzikra Cirebon (2011), Bom Sarinah (2016), Bom Mapolresta Solo (2016), Bom Kampung Melayu (2017), serta Bom Surabaya dan Sidoarjo (2018).
Di luar itu, ada bom Konsulat Jenderal Filipina di Indonesia, Menteng, Jakarta, pada 1 Agustus 2000; bom Bursa Efek Jakarta 13 September 2000; hingga bom malam Natal, 24 Desember 2000.
Selain teror bom, dalam beberapa tahun terakhir juga terjadi insiden penyerangan. Misalnya, penyerangan terhadap rombongan polisi di Karanganyar, Cemoro Kandang, Jawa Tengah, yang disebut dilakukan oleh residivis kasus teror.
Ada juga aksi pembantaian oleh kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Ali Kalora, yang menewaskan empat orang warga Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah.
Direktur Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) Harits Abu Ulya mengatakan kasus di Gereja Katedral Makassar itu bermotif balas dendam.
"Contoh kasus Makassar ini aktual dan empiris. Pelakunya ini kan, kawan dari [pihak yang ditangkap] bulan Januari, orang yang namanya Adi atau inisial MR yang dieksekusi oleh Densus. Dua puluhan orang yang ditangkap, pada awal Januari lalu. Ini kan satu grup," ujar dia, saat dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (29/3)
Ia pun menilai perlu ada evaluasi penanganan terorisme oleh Pemerintah. Menurut dia, terutama dalam sepuluh tahun terakhir, aksi terorisme di Indonesia bermotif dendam.
"Kenapa bisa melahirkan balas dendam? Maka ini butuh kesadaran pihak yang punya kewenangan dalam hal kontra terorisme untuk mengevaluasi langkah-langkah law enforcement (penegakan hukum) yang selama ini dilakukan," kata dia.
Dalam proses penegakan hukum terhadap aksi terorisme, ia mengatakan seharusnya aparat sebisa mungkin menghindari aksi-aksi koboi yang menyebabkan terduga pelaku tewas atau disiksa.
Pola seperti itu, menurutnya melahirkan dendam dan berimplikasi pada berulangnya aksi teror.
"Cara-cara law enforcement seperti ini melahirkan kemarahan dan dendam. Ini siklus kekerasan, yang enggak ada ujungnya kalau pola-pola ini kemudian tidak dievaluasi," ucap dia.
Alih-alih melakukan tembak mati kepada terduga pelaku, menurutnya, aparat seharusnya menyeret terduga pelaku itu ke pengadilan untuk diadili sesuai dengan tingkat kesalahan.
"Jadi penting sekali bahwa law enforcement perlu evaluasi. Langkah soft selama ini, non-kekerasan, iya selama ini bagus, kontra-ideologi. Tapi yang paling penting itu di law enforcement," ucap dia.
Alat Ukur Deradikalisasi
Pengamat terorisme Al Chaidar menyoroti program deradikalisasi yang menurutnya tidak ilmiah dan tak serius dilaksanakan.
"Sudah banyak hasil review, asesmen, dan juga penelitian yang membuktikan bahwa program deradikalisasi yang dilakukan oleh pemerintah adalah sekadar program ecek-ecek, tidak serius, karena memang tidak ada landasan teoritiknya untuk deradikalisasi itu," cetusnya.
Saat dihubungi beberapa waktu lalu, mantan narapidana teroris Sofyan Tsauri juga menyebut perlu ada instrumen yang bisa mengukur tingkat radikalisme seorang mantan narapidana kasus teroris (napiter) dalam program deradikalisasi.
"Harus betul-betul dibuat sebuah instrumen yang mengukur kadar radikalisme," ujar dia.
Selain itu, Sofyan menyebut perlu ada dana besar untuk mendukung pengawasan dan penanganan satu per satu mantan teroris itu.
Sebab, sepengetahuan dirinya, potensi keterlibatan seorang eks teroris kembali dalam paham radikal rentan muncul ketika eks napiter dikembalikan ke masyarakat.
"Setiap tahunnya, masih banyak napiter yang keteter belum dapat dijangkau BNPT. Makanya, kalau dengan masuknya 600 orang itu, apakah kita punya dana? besar sekali enggak sedikit itu," ujarnya, saat menjawab wacana pemulangan ratusan eks ISIS.
Senada, Pengamat Terorisme Timur Tengah M Syauqiillah menyebut perlu ada instrumen atau alat ukur radikalisme seorang peserta deradikalisasi.
"Program deradikalisasi itu memang ada residivis, jadi sangat realtif soal keberhasilan," kata dia, beberapa waktu lalu.
"Pertanyaannya, apakah program deradikalisasi itu sudah memiliki alat ukur yang betul-betul ilmiah untuk bisa melihat derajat radikalisme seseorang?" tambah Sayuqillah.
Menurut dia, perlu kerja keras Pemerintah dalam mengumpulkan data tersebut. Misalnya, dengan melakukan peninjauan lapangan secara langsung. Pengenalan satu per satu orang itu pun jadi kewajiban.
"Bertemu satu per satu [menjadi penting] sehingga data yang dihasilkan komperhensif," ujar dia.
Penguatan Lembaga
Chaidar melanjutkan perlu ada penguatan lembaga lewat penambahan anggaran dan kewenangan berdasarkan jenis terorisme yang cocok ditangani institusi terkait.
Menurutnya, ada dua jenis terorisme; teroris tanzim, yang dalam melakukan aksi kejahatannya bersifat dinamis atau mobile; dan teroris tamkin, yang melakukan serangan di teritorial tertentu.
Polri, kata dia, mesti dikuatkan untuk menangani teroris yang disebutnya dengan teroris tanzim. Sementara TNI, untuk menangani teroris tankim.
"Tanzim yang mobile, itu bisa ditangani oleh polisi, seperti JAT, JI, JAD, JAK. Tapi kalau MIT, OPM itu harus ditangani militer, karena itukan terorisme teritorial dan organik, jadi enggak bisa ditangani oleh polisi," tuturnya.
"Itu udah tempur dia. Walaupun polisi juga punya Brimob dan sebagainya. Tapi tidak untuk tempur di hutan kan," tandas Chaidar.
(yoa/mjo/arh)