Institute for Criminal and Justice Reform (ICJR) mengingatkan DPR dan pemerintah untuk segera membentuk Tim Pengawas Penanggulangan Terorisme (TPPT). Tim ini jadi salah satu kewajiban DPR sebagai pengawas pelaksanaan UU Pemberantasan Terorisme.
Sejak peraturan itu disahkan pada 2018 silam, Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu menyebut DPR justru belum juga membentuk TPPT yang merupakan perintah undang-undang. Hingga teranyar, aksi terorisme berupa bom bunuh diri kembali terjadi di Gereja Katedral Makassar.
"Kami mengingatkan DPR untuk menjalankan fungsi pengawasannya melalui pembentukan Tim Pengawas Penanggulangan Terorisme (TPPT) sesuai perintah UU Terorisme yang sampai hari ini belum dibentuk," kata Erasmus melalui keterangan tertulis, Senin (29/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Erasmus menjelaskan, pembentukan tim merupakan amanat UU Pemberantasan Terorisme Pasal 43J. Adapun batas waktu maksimal yakni tiga tahun setelah Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Terorisme diundangkan yakni dengan tenggat 22 Juni 2021.
"Namun sampai dengan hari ini menjelang beberapa bulan menuju batas akhir tersebut, Peraturan DPR mengenai Tim Pengawas ini masih belum diselesaikan oleh DPR," lanjut dia.
Padahal dengan adanya Tim Pengawas DPR, anggota parlemen akan mampu mengawasi langsung kerja-kerja pemerintah menangani terorisme, termasuk pelaksanaan tugas-tugas genting. "Seperti pemberian bantuan medis, rehabilitasi, hingga kompensasi untuk korban-korban terorisme," terang Erasmus.
Dia pun kembali mengingatkan, agar tim pengawas segera dibentuk dan disahkan hingga paling lambat Juni 2021. Erasmus juga mewanti-wanti soal kompensasi bagi korban terorisme tanpa perlu menunggu proses peradilan.
Hal tersebut terkait kasus bom bunuh diri di Gereja Makassar. Pasalnya,ada sejumlah hak yang mesti diberikan untuk korban. Erasmus merinci beberapa di antaranya menyangkut bantuan medis dan bantuan rehabilitasi psikososial serta psikologis.
Semua itu, tandas Erasmus, harus ditanggung pemerintah sesuai ketentuan Pasal 35A ayat (4) UU 5/2018 (UU Pemberantasan Terorisme), Pasal 6 ayat (1) UU No 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, serta Pasal 18A ayat (1) dan Pasal 37 ayat (2) PP No 35 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas PP No 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban (PP 35/2020).
Selain bantuan medis serta rehabilitasi psikologis dan psikososial, Erasmus kembali menegaskan bahwa korban berhak menerima kompensasi tanpa menunggu putusan pengadilan.
"Sebagaimana diketahui bahwa pelaku aksi teror bom bunuh diri di Gereja Makassar ini telah ditemukan tewas pada saat kejadian. Sedangkan terhadap anggota jaringan terorisme lainnya yang terkait masih dalam proses pengusutan sehingga akan membutuhkan waktu yang cukup lama hingga dibawa ke sidang pengadilan," kata dia.
"Pasal 18K ayat (1) PP 35/2020 mengatur bahwa ketika pelaku tidak ditemukan atau meninggal dunia, maka LPSK dapat langsung mengajukan permohonan kompensasi kepada pengadilan untuk mendapatkan penetapan besaran pembayaran kompensasi bagi masing-masing korban," tutur Erasmus lagi.
![]() |