Tak kunjung memenuhi panggilan, KPK kemudian memasukan Sjamsul dan Itjih dalam daftar pencarian orang (DPO) atau buron kasus BLBI. Saat itu, baik Sjamsul dan Itjih diduga berada di luar negeri.
KPK sampai meminta bantuan Sekretariat Nastional Central Bureau (NCB)-Interpol Indonesia untuk memburu Sjamsul dan Itjih Nursalim.
Hal itu tercantum dalam surat KPK kepada Sekretariat NCB Interpol soal permohonan bantuan pencarian lewat mekanisme Red Notice Interpol tertanggal 6 September 2019.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kuasa hukum Sjamsul, Maqdir Ismail saat itu menyatakan bahwa kliennya masih berada di Singapura. Namun, ia membantah bahwa Sjamsul dan Itjih tak kunjung kembali ke Indonesia lantaran masalah BLBI.
Maqdir menyatakan saat itu Sjamsul memilih tinggal di Singapura karena alasan kesehatan. Sjamsul berada di Singapura sejak 2001 silam. Sejak saat itu juga, kliennya belum pernah kembali ke Jakarta.
Vonis Bebas Syafruddin
Pada Juli 2019, Mahkamah Agung memvonis bebas Syafruddin. Padahal, di tingkat banding, Pengadilan Tinggi menjatuhi hukuman 15 tahun penjara kepada Syafruddin. Hukuman tersebut lebih tinggi dari pengadilan tingkat pertama yang hanya menjatuhi hukuman 13 tahun penjara.
Majelis hakim pada MA saat memvonis bebas menilai Syafruddin terbukti melakukan perbuatan seperti didakwakan, namun perbuatannya bukan termasuk tindak pidana.
Putusan MA itu sontak menjadi polemik. Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menyebut putusan Mahkamah Agung 'Aneh Bin Ajaib'. Komisi antirasuah pun menyoroti perbedaan pendapat (dissenting opinion) majelis hakim.
Penerbitan SP3
Perjalanan perkara korupsi BLBI yang menyeret Sjamsul berakhir antiklimaks. Kamis (1/4) sore, KPK untuk pertama kalinya menerbitkan SP3.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menuturkan penghentian kasus ini sesuai dengan Pasal 40 UU KPK hasil revisi. Adapun beleid tersebut berbunyi:
"KPK dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara Tindak Pidana Korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun."
"Penghentian penyidikan sebagai bagian adanya kepastian hukum sebagaimana Pasal 5 UU KPK," kata Alexander.
KPK mulai berwenang menyetop kasus usai revisi UU KPK disahkan pada akhir 2019. Saat itu kewenangan KPK untuk menerbitkan SP3 dikritik banyak pihak.
Pasalnya, kewenangan SP3 dinilai membuka kemungkinan tawar menawar politik dalam penyelesaian suatu perkara korupsi.
(dmi/pris)