Seorang perempuan berinisial ZA, dengan senjata api menerobos masuk Markas Besar Kepolisian RI, Rabu (31/3). Perempuan itu kemudian melepaskan enam tembakan saat berupaya menyerang di area Mabes Polri sebelum akhirnya petugas melumpuhkannya.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengatakan, pelaku beraksi seorang diri tanpa jaringan terorganisasi atau lone wolf.
"Dari hasil profiling terhadap dia, maka yang bersangkutan itu adalah tersangka atau pelaku lone wolf," kata Listyo kepada wartawan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pengamat Intelijen dan Keamanan Negara, Stanislaus Riyanta menjelaskan, pelaku teror lone wolf tak terafiliasi dengan organisasi apapun. Lone wolf selalu bergerak sendiri.
"Lone wolf sendiri yang tidak terafiliasi dengan organisasi. Ada satu sebutan lagi, yakni wolf pack, yakni para lone wolf yang bergabung menjadi satu. Aksi wolf pack pernah ditemukan di Malaysia," kata Stanislaus kepada CNNIndonesia.com, Kamis (1/4).
Istilah lone wolf banyak digunakan dalam dunia terorisme saat ini. Banyak pula jurnal ilmiah yang menganalisis pergerakan teroris tunggal ini.
Menurut Stanislaus, pelaku lone wolf biasanya terpapar ideologi ISIS melalui proses swaradikalisasi. Sumber informasi ini berasal dari medium-medium digital yang mudah diakses seperti internet dan lainnya.
Pengamat terorisme sekaligus Direktur Institute for Policy Analysis of Conflict, Sidney Jones memprediksi aksi teror lone wolf dengan pelaku perempuan ini bakal terulang kembali.
"Pasti ada lone wolf lagi dan pasti ada perempuan lagi," kata Sidney.
Menurut dia, hal ini mungkin terjadi karena penyebaran paham radikalisme masih menjadi permasalahan yang marak. Kendati demikian, Sidney menyatakan jika kasus teror lone wolf sebetulnya jarang terjadi di Indonesia.
Ia menyarankan agar aparat penegak hukum tidak menangani kasus teror di Mabes Polri seperti kasus teror biasa, karena ia menduga aksi tersebut tidak terkait dengan jaringan terorisme.
"Jangan (anggap kasus ini) sebagai suatu yang biasa. Karena di Indonesia lone wolf masih sesuatu yang agak jarang terjadi," tuturnya.
Sidney menyarankan agar aparat penegak hukum melibatkan perempuan dalam menanggulangi kasus teror di Mabes Polri. Ini perlu untuk memahami jaringan teror di kalangan perempuan.
Ia juga menilai pemerintah dan aparat seharusnya perlu berdiskusi lebih banyak dengan ratusan perempuan bekas simpatisan Negara Islam Irak dan Suriah atau ISIS dari Turki beberapa waktu lalu untuk memahami aksi teror di kalangan perempuan.
Sidney menampik penilaian Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol Boy Rafli bahwa perempuan diberdayakan menjadi pelaku teror karena lebih lemah dalam menetapkan pendirian atau mudah dipersuasi.
![]() |
Menurut Sidney, justru terdapat pergeseran pemahaman di kalangan pelaku teror perempuan yang sebelumnya hanya berperan menjadi istri dan ibu, namun kini ingin turut aktif dalam aksi teror.
"Jadi saya enggak setuju seratus persen dengan apa yang disampaikan Pak Boy Rafli bahwa perempuan terlalu lemah dan sebagainya. Mungkin sebagian, tapi kita lihat juga perempuan ingin dapat peran lebih aktif sendiri," tambahnya.
(dmr/ayp)