Karyana menegaskan kerjasama dengan AS hanya transfer alih teknologi. Sementara untuk pengembangan komponen pembuatan vaksin seperti antigen dan Granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF) memang impor sebab Indonesia belum memiliki alat untuk membuatnya.
"Untuk harga tidak mahal, tidak. Nanti vaksin ini bisa memangkas biaya penyimpanan dan distribusi karena tidak ribet. Akhirnya secara umum kalau dibandingin vaksin ini, dendritik dan Sinovac harga tidak jauh beda," ucapnya.
Karyana menjelaskan, harga untuk GM-CSF per vialnya dibanderol Rp250-300 ribu. Dalam pengembangan vaksin Nusantara diperlukan dua vial GM-CSF, kemudian dipaparkan dengan sebuah antigen. Namun ia enggan menyebutkan harga antigen SARS COV-2 spike protein yang diproduksi Lake Pharma dari AS itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Karyana sekaligus mengatakan bahwa rencana ke depan, pihaknya kemungkinan akan mengeliminasi penggunaan GM-SCF. Hal itu dikarenakan dalam proses penelitian, ditemukan komponen itu tidak terlalu berpengaruh dalam merangsang pembentukan antibodi pada sel dendritik.
"Lalu untuk yang antigen. Satu antigen dari Amerika itu dibawa dalam tabung yang 5 liter itu bisa untuk berjuta-juta dosis vaksin," kata dia.
Dengan komponen dan proses pembuatan itu, Karyana menilai vaksin Nusantara tidak memakan banyak anggaran negara. Selain itu, ia menyebut bahwa vaksin besutan Terawan ini memiliki kemampuan antibodi seumur hidup, sementara vaksin lainnya diperkirakan hanya memiliki daya antibodi 6-24 bulan saja.
Tak hanya itu, ia mengklaim bahwa distribusi vaksin Nusantara tidak membutuhkan rantai pasok alias cold chain. Dengan begitu, anggaran diharapkan hanya akan fokus pada pengembangan vaksin.
"Mungkin mahal yang dimaksud itu hanya proses waktu dibuat. Tapi adanya transfer alih teknologi ya itu kita harapkan bisa buat sendiri, dan nanti lebih murah," jelas Karyana.
Vaksin Nusantara diketahui kian berpolemik usai beberapa politisi hingga mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari menjadi relawan vaksin Nusantara ini.
Polemik itu terjadi lantaran hingga kini BPOM belum mengeluarkan Persetujuan Pelaksanaan Uji Klinik (PPUK) uji klinis fase II vaksin Nusantara.
Keputusan BPOM menyusul beragam temuan, mulai dari komponen yang digunakan dalam penelitian tidak sesuai pharmaceutical grade, kebanyakan impor, hingga antigen virus yang digunakan bukan berasal dari virus corona di Indonesia sehingga tidak sesuai dengan klaim vaksin karya anak bangsa.
(khr/pris)