Jakarta, CNN Indonesia --
Anggota Tim Peneliti Vaksin Nusantara Muhammad Karyana membantah soal informasi yang mengatakan bahwa vaksin Nusantara bukan karya anak bangsa karena menggunakan komponen impor mahal dan dikembangkan oleh Amerika Serikat (AS).
Ia menegaskan bahwa tawaran bantuan dari AS merupakan proses transfer alih teknologi. Nantinya Indonesia akan secara bertahap melakukan pengembangan vaksin ini secara mandiri dan penuh.
"Darahnya darah siapa, yang ngerjain siapa begitu? itu apa semua orang AS datang sendiri? Ya makanya nanti kita harapkan kalau di RSUP dr Kariadi sudah bisa, maka bisa mengajak RS lain," kata Karyana saat ditemui CNNIndonesia.com di kantor Balitbangkes, Jakarta Pusat, Kamis (15/4) sore.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagaimana diketahui penelitian vaksin Nusantara ini dilakukan oleh tim peneliti dari Balitbangkes Kementerian Kesehatan, RSPAD Gatot Subroto, RSUP dr Kariadi dan Universitas Diponegoro.
Selanjutnya, penelitian ini disponsori oleh PT. Rama Emerald atau PT. AIVITA Indonesia yang bekerja sama dengan Balitbangkes Kemenkes.
Karyana sendiri diketahui ikut andil sebagai tim peneliti vaksin besutan mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto yang dilakukan di RSUP dr Kariadi Semarang.
Karyana sekaligus menampik bahwa tim peneliti dan analis di RSUP dr Kariadi tidak bisa menguasai penelitian saat kedatangan inspeksi oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pertengahan Maret lalu. Ia menyebut, peneliti saat ini bahkan sudah menguasai pengembangan dan penggunaan sel dendritik ini pada subjek relawan.
Karyana mengaku bahwa pada tiga subjek pilot project di awal memang dikerjakan oleh tim AIVITA dari AS. Namun menurutnya saat uji klinis pada 28 relawan itu, tim dari RSUP dr Kariadi sudah bisa melakukan secara mandiri.
"Yang dibilang nonton itu, saya sih sangat-sangat menyayangkan ada kalimat seperti itu," tuturnya.
Karyana menegaskan kerjasama dengan AS hanya transfer alih teknologi. Sementara untuk pengembangan komponen pembuatan vaksin seperti antigen dan Granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF) memang impor sebab Indonesia belum memiliki alat untuk membuatnya.
"Untuk harga tidak mahal, tidak. Nanti vaksin ini bisa memangkas biaya penyimpanan dan distribusi karena tidak ribet. Akhirnya secara umum kalau dibandingin vaksin ini, dendritik dan Sinovac harga tidak jauh beda," ucapnya.
Karyana menjelaskan, harga untuk GM-CSF per vialnya dibanderol Rp250-300 ribu. Dalam pengembangan vaksin Nusantara diperlukan dua vial GM-CSF, kemudian dipaparkan dengan sebuah antigen. Namun ia enggan menyebutkan harga antigen SARS COV-2 spike protein yang diproduksi Lake Pharma dari AS itu.
Karyana sekaligus mengatakan bahwa rencana ke depan, pihaknya kemungkinan akan mengeliminasi penggunaan GM-SCF. Hal itu dikarenakan dalam proses penelitian, ditemukan komponen itu tidak terlalu berpengaruh dalam merangsang pembentukan antibodi pada sel dendritik.
"Lalu untuk yang antigen. Satu antigen dari Amerika itu dibawa dalam tabung yang 5 liter itu bisa untuk berjuta-juta dosis vaksin," kata dia.
Dengan komponen dan proses pembuatan itu, Karyana menilai vaksin Nusantara tidak memakan banyak anggaran negara. Selain itu, ia menyebut bahwa vaksin besutan Terawan ini memiliki kemampuan antibodi seumur hidup, sementara vaksin lainnya diperkirakan hanya memiliki daya antibodi 6-24 bulan saja.
Tak hanya itu, ia mengklaim bahwa distribusi vaksin Nusantara tidak membutuhkan rantai pasok alias cold chain. Dengan begitu, anggaran diharapkan hanya akan fokus pada pengembangan vaksin.
"Mungkin mahal yang dimaksud itu hanya proses waktu dibuat. Tapi adanya transfer alih teknologi ya itu kita harapkan bisa buat sendiri, dan nanti lebih murah," jelas Karyana.
Vaksin Nusantara diketahui kian berpolemik usai beberapa politisi hingga mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari menjadi relawan vaksin Nusantara ini.
Polemik itu terjadi lantaran hingga kini BPOM belum mengeluarkan Persetujuan Pelaksanaan Uji Klinik (PPUK) uji klinis fase II vaksin Nusantara.
Keputusan BPOM menyusul beragam temuan, mulai dari komponen yang digunakan dalam penelitian tidak sesuai pharmaceutical grade, kebanyakan impor, hingga antigen virus yang digunakan bukan berasal dari virus corona di Indonesia sehingga tidak sesuai dengan klaim vaksin karya anak bangsa.