Epidemiolog Pertanyakan Klaim Nasionalisme Vaksin Nusantara
Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman mempertanyakan klaim nasionalisme dalam pengembangan vaksin Nusantara yang dipimpin mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto.
Menurut Dicky, vaksin Nusantara tak bisa benar-benar disebut sebagai karya anak Bangsa. Sebab kata dia, pengembangan vaksin tersebut pun menggunakan metode yang berkembang di beberapa negara dalam satu dekade terakhir.
"Ada tendensi yang tidak pas. Seolah mengesankan ini produk dalam negeri. Padahal faktanya, tidak. Ini kan satu hal yang dalam dunia ilmiah menjadi, tidak etis," terang Dicky kepada CNNIndonesia.com, Minggu (18/4).
Dicky mengkritik penggunaan metode sel dendritik yang digunakan dalam pengembangan vaksin Nusantara. Menurut dia, beberapa negara mencatat sejumlah masalah pra-klinik dalam penggunaan metode tersebut.
Metode dendritik diadopsi dari terapi kanker. Selain bisa dipanen dari darah seseorang, sel dendritik juga bisa diambil dari sumsum tulang. Dicky menuturkan, penggunaan metode dendritik di beberapa negara menuai polemik sebab tidak mendapatkan hasil yang meyakinkan.
"Studi preklinis ini masih terus dilakukan karena banyak hal yang belum mendapatkan data atau hasil yang meyakinkan," jelas dia lagi.
Selain itu, Dicky menilai metode pengembangan tersebut membutuhkan biaya mahal. Sehingga lanjut dia, cara itu tidak tepat untuk proses vaksinasi sebagai strategi pemerataan kesehatan masyarakat dalam waktu cepat.
Dicky turut mengendus unsur politis dalam pengembangan vaksin Nusantara. Ia melihat rekam jejak Terawan sebelumnya saat mengembangkan Digital Substraction Angiography (DSA) karena mendapat dukungan dari sejumlah politisi.
"Dulu waktu dengan terapi DSA juga begitu. Arahnya begitu karena dukungan birokrasi dan politik saja," kata dia.
Dicky lantas mempertanyakan sejumlah politikus dan anggota DPR yang menjadi relawan penyuntikan vaksin tersebut. Menurut dia, tak ada hasil riset yang mengizinkan bahwa penerima vaksin bisa kembali disuntikkan vaksin sebagai relawan.
Dicky mendukung Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) dengan tidak melanjutkan pengujian fase kedua terhadap vaksin Nusantara karena tak memenuhi unsur keamanan. Dia menilai, proses pengembangan vaksin Nusantara bukan saja salah kaprah melainkan juga tidak memenuhi kaidah ilmiah.
"Jadi ini berbahaya ketika ada satu riset yang tidak merujuk dan berpedoman kaidah ilmiah. Itu bukan riset dan tidak bisa menjamin keamanan," pungkas Dicky.
Sebelumnya BPOM telah mengevaluasi uji klinis fase I vaksin Nusantara. Kesimpulannya, masih terdapat ketidaksesuaian pelaksanaan uji kinik dengan standar Cara Uji Klinik yang Baik (CUKB) atau Good Clinical Practice (GCP).
BPOM menyarankan penelitian vaksin Nusantara diulang dari tahap praklinis hewan. Dengan begitu, saat masuk tahap uji klinis terhadap manusia, vaksin itu bukanlah sebuah percobaan yang belum pasti.
Langkah BPOM itu mendapatkan dukungan dari lebih 100 tokoh nasional, termasuk mantan Wakil Presiden Boediono. Sebelumnya Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pun turut mengingatkan persoalan vaksin Nusantara bukan sekadar perkara nasionalisme dan niat baik tapi juga haru memperhatikan aspek penting seperti keamanan, efikasi hingga kualitas.