Tim Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Jawa Tengah masih terus mendalami kasus penjualan alat rapid antigen ilegal, termasuk mencari kemungkinan adanya 'aktor' yang mengendalikan tersangka SPM.
Kasubdit I Ditreskrimsus Polda Jawa Tengah AKBP Asep Mauludin menjelaskan alat rapid test antigen yang didatangkan PT SSP dari China itu sejatinya belum memiliki izin edar. Namun SPM yang bekerja sebagai sales pemasaran wilayah Jateng telah berhasil memperjualbelikannya.
Oleh karena itu, kata Asep, diduga ada 'orang dalam' PT SSP yang mengendalikan atau mengetahui aliran barang alat antigen yang seharusnya belum dapat keluar untuk dijual tapi justru dapat keluar ke tangan SPM dan diperjualbelikan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini alat antigen diimpor dari China oleh PT SSP. Karena belum punya izin edar, seharusnya antigen ini tidak boleh keluar tempat atau gudang. Tapi yang terjadi, SPM bisa dapat barangnya dan sampai menjualnya. Bahkan beberapa kali melakukan penyetoran uang dari hasil penjualan itu ke perusahaan. Kami masih terus dalami," ungkap Asep di kantornya, Semarang, Kamis (6/5).
Hasil penyidikan sementara, SPM menjual alat rapid antigen ilegal melalui online dengan dibantu dua kurir yang bertugas mengirim pesanan barang ke pembeli.
Dari pemeriksaan, Asep menerangkan pada penawaran awalnya, SPM menunjukkan produk yang resmi atau legal. Namun, setelah terjadi kesepakatan pembelian, SPM menawarkan barang yang lebih murah kepada pembeli dengan kualitas yang sama. Dari sinilah, pembeli tergiur dan akhirnya mengambil alat rapid antigen yang ilegal.
"Pastilah pembeli cari yang murah," kata Asep.
Pemeriksaan Polisi juga mendapati bila selama kurun waktu 5 bulan, SPM berhasil meraup omzet penjualan sebesar Rp2,8 miliar dengan keuntungan bersih sekitar Rp200 juta.
Terbongkarnya penjualan alat rapid antigen ilegal ini sendiri bermula dari rasa kecewa seorang pembeli yang mendapati hasil berbeda dari dua kali tes rapid. Dengan alat rapid antigen yang dibeli SPM, pembeli tersebut hasil tesnya negatif, namun saat dites dengan alat lain, hasilnya reaktif.
Kekecewaan pembeli ini pun dilaporkan ke Ditreskrimsus Polda Jawa Tengah yang kemudian menindaklanjuti dan menemukan tidak adanya barcode yang menunjukkan alat rapid antigen tersebut memiliki izin edar.