Pembatalan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri tentang penggunaan pakaian seragam dan atribut di lingkungan sekolah oleh Mahkamah Agung (MA) dikhawatirkan membuat sikap intoleransi di lingkungan pendidikan tumbuh subur.
Hal itu disampaikan Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim. Menurutnya, lingkungan sekolah juga tak akan menjadi tempat menyemai nilai kebhinekaan.
"Sehingga sekolah tidak lagi menjadi tempat untuk menyemai nilai kebhinekaan," kata Salim dalam keterangan resmi yang CNNIndonesia.com terima, Minggu (9/5).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Salim menyebut terdapat sikap intoleran yang diduga dilakukan para guru, kepala sekolah, hingga kepala daerah. Sikap itu berdalih Peraturan Daerah (Perda) dan sejenisnya.
P2G mencatat beberapa kasus intoleran di lingkungan sekolah. Pada 2017 semisal, terdapat kasus pelarangan menggunakan jilbab di SMA Negeri 1 Maumere dan di SD Inpres 22 Wosi Manokwari pada 2019.
"Jauh sebelumnya, pada 2014 sempat terjadi pada sekolah-sekolah di Bali," jelas Salim.
Sementara, kasus mewajibkan penggunaan jilbab terjadi di salah satu SMP Negeri Kabupaten Banyuwangi pada 2017. Kasus serupa juga terjadi di sebuah SD Negeri di Gunung Kidul, Yogyakarta pada 2019. Semua anak kelas 1 di SD tersebut diwajibkan menggunakan busana muslim.
Salim meminta agar guru-guru menghargai nilai toleransi dan kebhinekaan di lingkungan sekolah.
Ia juga mengingatkan kepala daerah dan sekolah, meskipun SKB 3 Menteri dicabut MA, aturan mengenai seragam di sekolah masih terikat dalam Peraturan Menteri Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 45 Tahun 2014 tentang seragam sekolah.
"Sebagai acuan seragam sekolah bagi siswa," kata Salim.
Lihat juga:Pemprov Yogyakarta Tak Melarang Mudik Lokal |
Meski demikian, P2G, memiliki sejumlah catatan terhadap SKB 3 Menteri. Dalam perspektif yuridis formal, SKB 3 menteri itu tidak bisa membatalkan Perda. Aturan tentang seragam sekolah telah dimuat dalam Permendikbud Nomor 45 Tahun 2014.
Selain itu, poin ketiga dalam SKB 3 Menteri juga multitafsir. Poin tersebut mengatur bahwa kepala daerah atau sekolah tidak boleh mewajibkan atau melarang peserta didiknya menggunakan seragam yang merujuk pada agama tertentu.
Sebab, bisa saja guru agama menghimbau siswanya yang secara keseluruhan menganut agama tertentu agar menggunakan atribut yang berkaitan dengan keyakinan mereka. Di sisi lain, penggunaan atribut itu termasuk dalam struktur dan materi kurikulum pembelajaran.
"Jadi membingungkan guru agama, di satu sisi ada dalam kurikulum di sisi lain SKB melarangnya, jadi saling bertolak-belakang aturannya," ujarnya.
P2G juga mencatat bahwa poin 5 dalam SKB 3 Menteri ini bertolak belakang dengan kewajiban negara membiayai masyarakat melalui bantuan skema Dana BOS.
Dalam aturan itu, Kemendikbud mengancam akan menghentikan penyaluran Dana BOS bagi sekolah yang melanggar SKB 3 Menteri.
"Tentu lagi-lagi yang menjadi korban adalah siswa. Bahkan siswa mendapatkan kerugian dua kali lipat. Pertama, mendapatkan perlakukan intoleran terkait seragam, kedua, siswa tidak mendapatkan skema bantuan Dana BOS," ujar Salim.
Padahal, kata Salim, pembiayaan melalui skema Dana BOS telah diatur dalam undang-undang. Jika sanksi tersebut dijatuhkan, siswa dan guru akan terdampak.
"Jadi memang muncul persepsi SKB ini dibuat terburu-buru dan terkesan reaksioner," katanya.
Salim lantas meminta Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Agama, serta Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi berembuk merespons keputusan MA.
Selain itu, menurutnya, presiden bisa saja menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) yang mengatur penggunaan seragam di sekolah yang berdasar pada nilai-nilai toleransi dan kebhinekaan.
"P2G sepakat jika fenomena intoleransi di dunia pendidikan (sekolah) harus segera diakhiri melalui mekanisme hukum," ujarnya.
Sebelumnya, MA mengabulkan permohonan yang diajukan Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumatera Barat dengan nomor perkara 17/P/HUM/2021. Lembaga hukum tertinggi itu meminta agar SKB 3 Menteri dicabut.
"Mengadili, memerintahkan kepada Termohon I, Termohon II, dan Termohon III untuk mencabut Keputusan Bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia dan Menteri Agama Republik Indonesia, Nomor 02/KB/2021, Nomor 025-199 Tahun 2021, Nomor 219 Tahun 2021," sebagaimana bunyi petikan putusan tersebut dikutip Jumat (7/5).
(iam/fra)