Menteri Pertahanan Prabowo Subianto membawa sejumlah agenda dalam melakukan kunjungan kerja ke beberapa negara. Tercatat, sejak awal 2021, Prabowo telah mengunjungi Inggris, Rusia, Jepang dan Korea Selatan.
Satu dari sekian agenda yang dibawa Prabowo, yakni memperkuat dan memodernisasi alat utama sistem persenjataan (alutsista) melalui penjajakan kemungkinan pengadaan dari negara produsen alutsista.
Selain itu, Prabowo juga melakukan penawaran alutsista yang telah mampu diproduksi industri pertahanan dalam negeri kepada negara-negara lain.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Langkah yang ditempuh Prabowo ini ibarat sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui. Tentu saja langkah Prabowo ini layak untuk diapresiasi.
Bagaimanapun diplomasi pertahanan sejatinya memang merupakan salah satu sarana mewujudkan kepentingan nasional di bidang pertahanan dan keamanan. Peranannya sangat strategis dalam menghadapi permasalahan yang ada, terutama agar eskalasi tidak meningkat ke arah konflik serta dapat saling memperkuat confidence building measures (CBM), keamanan hingga stabilitas kawasan.
Dalam implementasinya, diplomasi pertahanan memiliki tiga bentuk kegiatan utama. Pertama adalah defence diplomacy for confidence building measures, yaitu diplomasi yang dilakukan untuk membangun kepercayaan, mengurangi rasa takut dan kesalahpahaman dari kedua belah pihak.
Kedua, defence diplomacy for defense capabilites, yaitu diplomasi yang diarahkan pada upaya meningkatkan kemampuan sektor pertahanan. Kemudian yang ketiga, defence diplomacy for defence industries, yaitu diplomasi pertahanan yang tujuannya adalah membangun kerjasama industri pertahanan.
Kunjungan yang dilakukan telah menghasilkan sejumlah rencana kerja sama strategis. Baik yang menyangkut pengadaan, pengembangan dan pemeliharaan alutsista seperti pesawat tempur, tank dan kapal selam. Pun dengan kerja sama yang menyangkut pendidikan, pelatihan dan latihan militer, serta berbagai rencana strategis lainnya yang menyangkut peningkatan daya saing dan pemasaran produk industri pertahanan dalam negeri.
Dari sana tampak bahwa pemerintah melalui Kementerian Pertahanan sedang sangat serius memodernisasi kekuatan pertahanan, mempercepat pertumbuhan industri dalam negeri serta mengupayakan pemenuhan kebutuhan alutsista. Terutama yang belum mampu diproduksi oleh industri pertahanan dalam negeri dan meningkatkan kemampuan para personel militer terutama dalam hal teknologi dan strategi terkini.
Di tengah keseriusan dan tumpuan harapan tersebut, tentunya tidak berlebihan jika skema-skema kerja sama yang dibahas tetap harus dicermati dengan seksama, terutama yang menyangkut pembiayaan, transfer teknologi maupun peluang kerjasama produksi.
Mengingat bahwa diplomasi pertahanan merupakan salah satu sarana dalam proses pencapaian kepentingan nasional, maka implementasinya juga harus dapat dilakukan dengan perencanaaan yang tepat dan memiliki akuntabilitas yang baik.
Selain itu, diperlukan telaah yang serius terhadap kesesuaian antara kepentingan nasional yang menjadi tujuan diplomasi pertahanan dengan proses yang meliputi kebijakan nasional dan kebijakan luar negeri, serta hasil yang hendak dicapai.
"Kesemua hal di atas harus selaras dengan empat prinsip yang dipegang Menhan Prabowo dalam pembangunan kekuatan pertahanan, yaitu tepat guna, geopolitik dan geostrategis, efisiensi anggaran, serta alih teknologi dan offset," ujar Pemerhati Militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi.
Untuk mengimbangi sukses diplomasi pertahanan, maka di dalam negeri perlu juga diambil sejumlah langkah kebijakan sebagai penopangnya. Pertama, soal penguatan peran dan fungsi Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) sebagai wadah bertemunya stakeholder terkait pengadaan alutsista, yaitu pengguna sebagai perencana kebutuhan, industri pertahanan sebagai penyedia, serta elemen pemerintah yang berperan sebagai fasilitator anggaran dan litbang sekaligus sebagai regulator.
Kedua, soal pengaturan keterlibatan pihak ketiga. Hal ini diperlukan untuk menjamin kapabilitas dan kewenangannya, sebagai bagian dari upaya membangun koordinasi antar-stakeholder.
Ketiga, penyusunan indikator kemandirian industri pertahanan nasional yang dibangun dengan melihat proporsi kebutuhan. Keempat, perencanaan anggaran yang matang, berkesinambungan dan dengan prioritas yang terukur, hingga skema penahapan pengadaan jika anggaran terbatas.
Kelima, penyediaan dukungan anggaran yang proporsional untuk mendorong pengembangan riset termasuk di lingkungan perguruan tinggi dan pemberian insentif bagi industri pertahanan dalam negeri untuk melakukan inovasi.
Harus diakui, pembangunan kekuatan dan kemampuan sektor pertahanan merupakan lari marathon, bukan lagi sprint. Pencapaiannya memang membutuhkan waktu yang panjang, namun tentunya tak boleh menolerir pelambatan.
Setelah indikasi melambatnya capaian target Minimum Essential Force (MEF) tahap II pada 2015 hingga 2019 --dimana capaian baru berkisar kurang dari 65 persen dari target 75 persen yang diharapkan-- maka berbagai kesepakatan kerja sama dan diplomasi pertahanan yang dilakukan oleh Prabowo dapat disambut sebagai upaya akselerasi yang serius. Khususnya terhadap implementasi visi pemerintah dalam upaya modernisasi, peremajaan dan kemandirian alutsista maupun dalam rangka pengembangan industri pertahanan dalam negeri.
Kesepakatan kerja sama dan diplomasi pertahanan itu, tentu saja berdampak positif dan akan sangat besar pengaruhnya terhadap kekuatan Indonesia dalam peta geopolitik kawasan Asia Pasifik. Apalagi jika implementasinya dapat berjalan sesuai rencana serta mendapat dukungan yang kuat, terutama dari Presiden dan parlemen.
(osc)