Fajri sendiri setidaknya sudah tiga tahun ini tidak bisa merasakan hangatnya lebaran bersama keluarga pada hari pertama Idulfitri. Karena keterbatasan sumber daya manusia di Puskesmas, dia harus rela berjaga di hari raya.
Puskesmas tempat Fajri bekerja hanya punya tujuh dokter. Satu kali sif, dua dokter sekaligus harus berjaga. Artinya setiap dokter yang bertugas di IGD punya kesempatan besar dapat giliran jaga selama lebaran hari pertama atau kedua.
Kalau sedang jaga malam dan ramai pasien, terkadang Fajri terpaksa harus meninggalkan Salat Idulfitri. Kegiatan sungkeman dan silaturahmi pun harus ditunda sampai hari kedua atau ketiga lebaran.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski begitu, Fajri memahami tanggung jawab atas profesinya. Lagi pula, menurutnya kehangatan lebaran juga terasa hingga ke dalam gedung puskesmas di hari lebaran.
"Senangnya lagi, kalau lebaran ada yang kasih makanan. Teman atau orang luar kasih kue, kasih opor. Ini bukan masalah nominalnya. Tapi orang empati. Itu juga menyentuh banget kita sebagai nakes (tenaga kesehatan), itu jadi power tersendiri," tuturnya.
Sama halnya yang dirasakan Rahmat, perawat di salah satu rumah sakit di Jakarta. Meskipun sudah beberapa tahun tak bisa mudik dan merayakan hari raya bersama keluarga, ia masih bisa merasakan kehangatan Idulfitri bersama rekan nakes lainnya.
Sudah beberapa tahun ini Rahmat tidak pulang ke Bengkulu--kampung halamannya--karena kedapatan sif jaga ruang isolasi Covid-19 pada hari lebaran. Ketika akhirnya dapat giliran untuk cuti lebaran, Indonesia dilanda pandemi sehingga niatnya pulang kampung gagal lagi.
Tahun lalu, lebaran hari pertama ia habiskan dengan bekerja. Merawat pasien Covid-19 yang juga harus menjalankan hari raya tanpa keluarga. Silaturahmi hanya sebatas saling tukar ucapan maaf melalui konferensi video.
![]() |
"Ini semua untuk kebaikan orang-orang di rumah juga. Agar nggak menularkan ke keluarga. Jadi lebaran kali ini di rumah sakit dulu ya," tutur Rahmat memberikan semangat kepada pasien-pasiennya.
Sama halnya dengan pasien Covid-19, Rahmat juga hanya bisa sungkeman virtual dengan orang tua dan keluarga. Rasa rindu menghabiskan waktu berkumpul dengan sanak famili saat hari raya tiba, tak bisa ia pungkiri.
Rekan sejawat lah yang kemudian menjadi penyemangat kala rindu itu menghampiri. Di tengah larangan mudik dan bahaya pandemi, Rahmat dan rekan nakes lainnya berupaya mengisi kekosongan lebaran dengan membuat perayaan kecil-kecilan di hotel tempat mereka diinapkan selama menangani kasus Covid-19.
Suasana lebaran di penginapan dengan rekan kerja memang kalah jauh jika dibandingkan momen hari raya bersama keluarga. Tahun lalu, Rahmat bahkan terpaksa Salat Idulfitri sendiri di kamar. Ceramah setelah salat ia dengarkan secara virtual.
Namun setidaknya, hari raya Rahmat masih diisi dengan opor ayam, ketupat dan canda gurau bersama rekan nakes lainnya. Hari-hari lebaran di tengah pandemi pun tak semuram yang ia bayangkan.