Tuding Firli Dominan, Novel Sebut Pimpinan KPK-Dewas 'Diam'

CNN Indonesia
Rabu, 19 Mei 2021 13:57 WIB
Pimpinan KPK dianggap tidak berdaya menghadapi sikap Ketua Firli Bahuri yang menerbitkan SK pemberhentian 75 pegawai tak lolos tes wawasan kebangsaan (CNN Indonesia/ Feri Agus Setyawan)
Jakarta, CNN Indonesia --

Penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan menyebut peran Ketua KPK  Firli Bahuri dominan dalam penonaktifan75 pegawai. Novel juga menyebut pimpinan yang lain dan Dewan Pengawas KPK dan tidak berdaya menghadapi manuver Firli. 

Kepada CNN Indonesia, Novel megatakan dominasi Firli tersebut mencakup dari awal pengadaan TWK sampai penandatanganan SK penonaktifan.

Novel menyebut Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) tidak mempunyai keinginan untuk mengadakan TWK.

"BKN dan Kemenpan RB tidak pada posisi ingin melakukan tes," ucap Novel, Senin (17/5).

"Justru yang saya dengar, informasi dari beberapa komunikasi saya dengan pimpinan KPK dengan yang lain, justru dari KPK sendiri dan itu datangnya dari Ketua KPK," imbuhnya.

Menurut Novel, keputusan tersebut hanya mengikuti kehendak ketua KPK Firli Bahuri. Sebab, Novel menyebut beberapa pimpinan KPK keberatan karena TWK tidak mempunyai landasan hukum yang jelas.

Diketahui, Ketua KPK Firli Bahuri mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 652 Tahun 2021 tentang penonaktifan 75 pegawai KPK setelah mereka dinyatakan gagal dalam TWK.

"Pimpinan KPK tidak berdaya menghadapi putusan seorang Ketua KPK. Itu tidak boleh terjadi. Karena KPK kolektif kolegial. Maka ini menjadi proses yang aneh dan memprihatinkan," imbuhnya.

Berdasarkan pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Uji Materi Undang-undang No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dikatakan bahwa proses pengalihan pegawai KPK menjadi pegawai ASN tidak boleh merugikan hak pegawai.

Novel menduga Ketua KPK Firli Bahuri memiliki motif tertentu ketika mengeluarkan SK pemberhentian terhadap 75 pegawai. Dia berasumsi demikian karena sikap Firli tak sesuai dengan kehendak MK.

"Ada juga di putusan MK Itu jelas. Kemudian, ketika orang yang punya kepentingan seolah-olah harus disingkirkan. Ini yang harus diperhatikan. Saya pikir pola-pola ini berbahaya," ucap dia.

Tidak hanya pimpinan KPK, Novel juga melihat Dewan Pengawas pun seolah tidak berdaya ketika Firli Bahuri menerbitkan SK pemberhentian terhadap 75 pegawai.

Dewas, kata Novel, harus memeriksa segala hal. Dewas juga dituntut untuk memeriksa apakah ada pelanggaran etik terhadap pimpinan dan ketua KPK atau tidak.

"Kemana fungsi Dewas? Apabila benar Ketua KPK punya kehendak sendiri yang dipaksakan, maka ini suatu hal yang buruk. Lebih buruk lagi Dewas tidak berdaya, maka apa yang kita harapkan dari pemberantasan korupsi dari KPK," tambahnya.

CNNIndonesia.com sudah berupaya menghubungi Ketua KPK Firli Bahuri dan juru bicara Ali Fikri untuk mengonfirmasi pernyataan Novel. Namun yang bersangkutan belum merespons. Begitu pula dengan anggota Dewas Syamsuddin Harris.

Sebelumnya, anggota Dewas KPK Indriyanto Seno Adji menyampaikan bahwa tes wawasan kebangsaan serta SK pemberhentian 75 pegawai bukan keputusan Firli seorang. Indriyanto sendiri mengaku hadir dalam rapat penentuan kebijakan itu.

Anggota Dewas Albertina Ho dan Tumpak Hatorangan enggan memberikan tanggapan.

"Keputusan pimpinan KPK itu dipastikan kolektif kolegial, sama sekali bukan individual dari Ketua KPK," kata Indriyanto lewat keterangan tertulis, Rabu (12/5).

Sebelumnya Firli juga membantah dirinya dominan terkait penonaktifan 75 pegawai KPK. Menurutnya prinsip kolektif kolegial tetap ada di KPK.

"Pimpinan KPK adalah kolektif kolegial, sifat kepemimpinan KPK adalah kolektif kolegial. Maknanya, semua keputusan diambil secara bulat dan tanggung jawab bersama oleh semua pimpinan KPK," ujar Firli kepada CNNIndonesia.com, Selasa (4/5) lalu.

KPK Kolektif Kolegial

Sementara itu Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata mengklaim keputusan di ranah pimpinan KPK masih berpegang pada asas kolektif kolegial. Artinya, keputusan itu merupakan kesepakatan bersama bukan hanya seorang pimpinan saja.

Ini disampaikan Alex dalam merespons laporan sejumlah pegawai ke Dewan Pengawas KPK atas dugaan pelanggaran kode etik pimpinan terkait tes wawasan kebangsaan (TWK).

"Pimpinan KPK sebelum mengambil keputusan, kami pimpinan selalu membahas dan berdiskusi tidak saja dengan semua pimpinan, bahkan dengan jajaran pejabat struktural KPK," ujar Alex dalam keterangan resmi, Rabu (19/5).

"Hal ini kami lakukan sebagai perwujudan kepemimpinan kolektif kolegial, semua keputusan yang diambil adalah keputusan bersama, bukan keputusan individu salah seorang pimpinan KPK," lanjutnya.

Ia berujar bahwa keputusan kelembagaan diambil melalui proses pembahasan bersama secara kolektif kolegial oleh seluruh pimpinan KPK. Termasuk dalam pembuatan Peraturan Komisi (Perkom) alih status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).

"Semua produk kebijakan yang dikeluarkan oleh kelembagaan KPK seperti Perkom, Peraturan Pimpinan, Surat Keputusan, Surat Edaran dan semua surat yang ditandatangani oleh ketua, kami pastikan sudah dibahas dan disetujui oleh empat pimpinan lainnya," ucap dia.

(irv/yla)


KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK