Jakarta, CNN Indonesia --
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah berembuk dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatarur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) serta Badan Kepegawaian Negara (BKN) mengenai nasib 75 pegawai lembaga antirasuah yang tak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK) untuk alih status jadi Aparatur Sipil Negara (ASN).
Berdasarkan rapat di Gedung BKN pada Selasa (25/4) pagi hingga sore, para pimpinan KPK dan lembaga pemangku kepentingan pamong praja itu memutuskan 24 di antara pegawai KPK tersebut yang masih bisa dibina untuk alih status jadi ASN.
Sementara 51 yang lain dinyatakan tak bisa jadi ASN tidak karena tak memenuhi penilaian berdasarkan kriteria yang ditetapkan tim asesor. Penilaian meliputi tiga aspek yakni kepribadian, pengaruh, dan PUNP (Pancasila, UUD '45, NKRI, Pemerintah sah).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
BKN menyatakan mereka yang bermasalah pada aspek pertama dan kedua masih bisa mendapat pembinaan lanjutan, tapi PUNP adalah harga mati.
Kesepakatan yang diputuskan tersebut menuai polemik lantaran sebelumnya Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) sempat meminta agar TWK tak dijadikan dasar memberhentikan pegawai KPK.
Selain itu, Mahkamah Konstitusi (MK) dalam amar putusannya atas uji materi UU Nomor Tahun 2019 pun menegaskan agar alih status ASN tak merugikan pegawai KPK.
Pengamat Politik Universitas Al-Azhar, Ujang Komarudin, menilai keputusan pemberhentian pegawai itu merupakan bentuk pembangkangan dan pengabaian anak buah Jokowi terhadap instruksi presiden.
"Jadi ini bisa jadi sebagai bentuk pengabaian [perintah Presiden] itu. Jangan sampai hanya sebagai bentuk pencitraan saja," kata Ujang saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (25/5).
Ujang juga menilai Presiden Jokowi harus bersikap lebih lugas dalam menyelesaikan perkara ini. Pasalnya, kata dia, saat ini hanya Jokowi yang dapat menuntaskan serangkaian janji kampanyenya terkait penguatan KPK.
Arahan Jokowi yang sebelum ini, kata dia, telah nyata tidak dilaksanakan anak buahnya, termasuk pimpinan KPK, di mana lembaga itu kini telah masuk ke dalam rumpun eksekutif imbas dari UU19/2019.Oleh karena itu, Ujang mengimbau agar Jokowi agar berbuat lebih nyata untuk membuktikan ucapannya kepada rakyat Indonesia.
"Jangan sampai seolah-olah mendukung para pegawai itu padahal sesungguhnya enggak. Ini kan yang jadi problem bagi publik. Kalau memang Pak Jokowi konsisten dengan pernyataannya kemarin, tentunya pemecatan itu tidak akan terjadi," ujar penulis buku Ideologi Partai Politik: Antara Kepentingan Partai dan Wong Cilik tersebut.
Ujang sendiri pun tak dapat berkomentar jauh terkait peristiwa itu. Hanya saja, Ujang meyakini bahwa telah terjadi banyak konflik kepentingan dalam lembaga antirasuah saat ini.
Ia berkaca dari yang telah terjadi sejak Revisi UU KPK berhasil disetujui lalu disahkan DPR dan pemerintahan Jokowi pada 2019 lalu, hingga kini alih status ASN yang mensyaratkan TWK.
 Para pegawai KPK saat melakukan aksi menyikapi progres upaya perubahan UU KPK yang dilakukan DPR dan pemerintah pada 2019 silam. (CNN Indonesia/Jonathan Patrick) |
Ujang meyakini, banyak hal yang perlu dibenahi KPK di bawah kepemimpinan lima komisioner periode 2019-2023 yang diketuai Komjen Pol Firli Bahuri tersebut. Hanya saja, kata dia, kepentingan-kepentingan itu yang kemudian malah membuat lembaga tersebut menjadi bermasalah.
Menurutnya, pengabaian perintah Presiden secara terang-terangan dapat melumpuhkan kepercayaan publik terhadap KPK. Hal itu, yang tidak diinginkan dirinya sebagai seorang akademisi dan pengamat.
Jokowi, kata dia, seringkali menyuarakan untuk penguatan KPK tapi selalu tak terlihat. Oleh sebab itu, kata dia, Presiden dapat membuktikan kampanye antikorupsinya selama ini dengan mencari jalan tengah dari permasalahan pegawai KPK.
"Presiden harus tegas juga memberikan arahan," ucap Ujang.
"Jangan sampai kasus-kasus yang sudah ada, lalu karena penyidiknya di nonaktifkan atau di buang lalu kasus-kasus itu menjadi aman," tambah penulis buku Memotret Politik Indonesia: Antara Harapan dan Kenyataan tersebut.
Terpisah, Ahli Hukum Pidana Universitas Trisaksi, Abdul Fickar Hadjar menjelaskan bahwa pemecatan para pegawai KPK itu telah nyata merugikan mereka. Hal itu pun tak sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi atas gugatan terhadap UU KPK baru.
Dia beranggapan, dalam proses alih status pegawai sudah tak diwajibkan kembali untuk lulus dalam TWK, karena para pegawai KPM telah lulus dalam rekrutmen awal saat mengabdi pada KPK.
"Bahwa sekarang (pegawai) KPK harus berstatus sebagai ASN, sesungguhnya secara yuridis otomatis seluruhnya menjadi ASN. Jika kemudian pada perjalanannya ada pegawai yang tidak menenuhi syarat atau melakukan pelanggaran yang menyebabkan kebatalan statusnya sebagai ASN itu adalah proses tersendiri," ucap Abdul saat dihubungi.
Menurutnya, pegawai KPK harus menjadi ASN secara otomatis setelah Undang-undang baru KPK diberlakukan.
Oleh sebab itu, seharusnya pemberhentian pegawai KPK dari lembaga tersebut harus melalui proses pemberhentian ASN. Salah satu yang menjadi kendala, proses itu terganjal oleh TWK yang membuat para pegawai tak bisa menjadi ASN.
"Presiden sebagai pemimpin eksekutif harus memerintahkan Ketua KPK untuk meng-ASN-kan semua pegawai KPK, dan jika pun harus diputuskan maka harus menggunakan mekanisme pemberhentian ASN. Hak atas ASN itu sepenuhnya timbul dari konsekuensi perubahan UU KPK," jelas pengajar di Universitas Trisaksi itu.
Senada, Ahli Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari juga menyatakan bahwa Badan Kepegawaian Negara (BKN) tidak memiliki dasar hukum untuk menjadikan TWK sebagai alasan pemecatan. Sehingga, seharusnya rapor merah terkait wawasan kebangsaan itu tak bisa menggugurkan alih status kepegawaian.
Dia merujuk pada Undang-undang nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK hingga Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
"Di dalam UU ASN tidak ada alih status pegawai KPK menjadi ASN. Proses itu diatur dalam UU KPK dan PP 41/2020. Di dalam UU dan PP itu jelas tahapan alih status itu hanya ada lima. Di dalam tahapan itu sama sekali tidak ada TWK," ucap Feri.
Diketahui, penerapan TWK untuk alih status ASN itu sendiri diatur secara rigid lewat Perkom Nomor 1 Tahun 2021.
 Alexander Marwata terpilih lagi menjadi komisioner KPK periode 2019-2023 setelah menjabat menjadi pimpinan lembaga antirasuah tersebut untuk periode 2015-2019. (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan) |
Polemik mengenai nasib puluhan pegawai KPK yang tak lolos TWK diketahui telah memasuki babak baru.
Pada Selasa pagi hingga jelang petang, lima pimpinan KPK bersama Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) Tjahjo Kumolo, dan Kepala BKN Bima Haria Wibisana telah mengadakan rapat mengenai nasib puluhan pegawai yang tak lolos TWK tersebut.
Selain itu hadir pula Menkumham Yasonna H Laoly [yang keluar lebih dulu], Komisi ASN, dan dari Lembaga Administrasi Negara (LAN).
Hasil rapat tersebut memutuskan, 51 dari 75 pegawai yang tak lolos TWK tak bisa lagi gabung KPK sebagai ASN. Sementara, 24 masih dapat dimungkinkan untuk mengikuti pembinaan sebelum diangkat menjadi ASN.
Dalam konferensi pers usai rapat di Gedung BKN itu, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyatakan tak bisa mengungkap atau membeberkan daftar nama 51 dan 24 pegawai beda nasib tersebut.
Alexander memaparkan 51 pegawai itu diminta untuk tetap berkantor di bawah pengawasan atasan masing-masing hanya sampai 1 November.
Dalam konferensi pers itu, wartawan hanya berhadapan dengan Alexander dan Kepala BKN Bima Haria Wibisana yang memberikan pernyataan dan menjawab pernyataan.
Bima mengklaim 51 pegawai KPK yang disebut tak dapat dipertahankan untuk jadi ASN itu tidak dirugikan dalam keputusan tersebut.
"Tidak merugikan pegawai, bisa saja dia mendapatkan hak-haknya sebagai pegawai ketika diberhentikan," katanya.
Bima mengatakan 51 pegawai KPK tersebut masih memiliki kontrak kerja yang dapat digunakan untuk mendapatkan hak-haknya sebagai pegawai.
Ia juga berdalih 51 pegawai itu juga masih bisa bekerja di KPK hingga 1 November 2021, batas waktu hingga semua pegawai lembaga antirasuah harus dialihkan menjadi ASN.
Ia menegaskan rembukan lintas kepala lembaga pemerintah di kantornya itu pun tetap sejalan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan pengalihan pegawai KPK menjadi ASN tidak boleh merugikan para pekerja tersebut. Selain itu, pihaknya pun tetap berpijak pada ketentuan perundang-undangan.
"Karena yang digunakan tidak hanya UU KPK saja. Tapi juga UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN. Jadi ini ada dua UU yang harus diikuti, tidak bisa hanya satu saja," tuturnya.