Pakar Minta Kemenkes Setop Pemeringkatan: Pandemi Bukan Lomba
Pemeringkatan penanganan Covid-19 antara daerah diminta untuk dihentikan lantaran saat ini mestinya menjadi momen semua pihak bersatu melawan pandemi.
"Ini bukan hal yang bijak masalah penilaian seperti ini. Ini bukan perlombaan. Pandemi ini adalah tanggung jawab utamanya ada di pemerintah dari mulai pusat sampai terbawah yang harus didukung masyarakat," ujar epidemiolog dari Universitas Griffith Dicky Budiman, saat dihubungi CNNIndonesia.com, Jumat (28/5).
Hal ini dikatakannya terkait pemberian nilai penanganan Covid-19 daerah dari Kemenkes. Penilaian daerah itu diungkapkan oleh Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono, pada Rapat Kerja bersama Komisi IX di Komplek DPR/MPR, Jakarta, Kamis (27/5).
Yang menjadi kontroversi adalah nilai E bagi DKI. Alasan Dante, keterisian tempat tidur di RS atau bed occupancy rate (BOR) yang mulai meningkat, telusur tidak terlalu baik, serta pelaporan kasus penularan lokal yang tinggi di ibu kota.
Sementara, berdasarkan data Pemprov DKI Jakarta, 67.199 orang di ibu kota menjalani pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) dalam sepekan.
Angka tersebut sudah enam kali lipat dari standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yakni minimal 10.645 orang dalam sepekan di DKI.
Selain itu, Rumah Sakit rujukan di Jakarta saat ini mencapai 106, yang merupakan yang terbanyak di tingkat provinsi.
Kapasitas RS mencapai 6.657 tempat tidur, dan terpakai 2.149 unit atau 32 persen. Tempat tidur di ruang ICU mencapai 1.014 unit, terpakai 345 atau 34 persen.
Selain itu, Jakarta sudah tak masuk wilayah zona merah penularan Covid-19 sejak lama dengan kasus yang makin melandai.
"Ini yang saya enggak paham, E ini apa yang jadi indikatornya. dan dari secara ini saja jadi enggak indah, enggak logis banget," cetus Dicky.
Ia mengaku sejak awal heran Kemenkes mengeluarkan penilaian terhadap penanganan Corona dengan indikator yang tak jelas tersebut.
"Saya lebih melihat bahwa ini ada ketidaksinkronan data, tidak tepat dalam menetapkan atau menyusun kriteria," ucapnya.
Jika ingin memberikan penilaian, dia menyebut Kemenkes harusnya memberikan indikator yang universal atau berlaku secara umum dalam penanganan pandemi.
"Namanya indikator itu atau kriteria itu kan universal dalam hal pengendalian pandemi. Ada yg sifatnya karakter, sesuai konteks, boleh lah," kata dia.
Dicky juga tidak mengetahui bagaimana Kemenkes sempat mengeluarkan nilai E terhadap penanganan pandemi di Jakarta. Menurut dia, hal tersebut tidak dapat diterima akal sehat.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin sendiri sudah menyampaikan permintaan maaf atas penilaian E terhadap DKI Jakarta. Dia mengatakan telah terjadi kesalahpahaman. Menurut dia, penilaian itu hanya indikator risiko untuk internal.
Terpisah, Epidemiolog Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono menyambut baik sikap Menkes terhadap penilaian yang tidak valid itu.
"Pak Menkes keren banget mau mengakui kesalahan anak buahnya dan minta maaf di depan publik," seloroh Pandu, yang juga membantu analisis data pengendalian pandemi di DKI Jakarta.
Pandu juga menyebut bahwa ada masalah koordinasi dan teknis di internal Kemenkes jika berkaca dari polemik ini.
"Staf Kemenkes salah. Itu kan anak-anak muda lulusan Harvard yang tidak ngerti apa-apa. Walaupun PhD, belum punya pengalaman, dia adopsi pedoman WHO begitu saja," cetus Pandu.
(dmi/arh)