Jakarta, CNN Indonesia --
Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dinyatakan memenuhi syarat menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) mengungkap kejanggalan dalam pelaksanaan tes wawasan kebangsaan (TWK).
Wahyu Prestianto misalnya. Ia menilai materi dalam tes tersebut tidak mencerminkan wawasan kebangsaan lantaran memuat pertanyaan-pertanyaan yang cenderung mengarah kepada privasi pegawai.
Ia menceritakan rangkaian proses pelaksanaan TWK yang merupakan agenda dari KPK bekerja sama dengan Badan Kepegawaian Negara (BKN). Mulai dari tes tertulis hingga wawancara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Wahyu yang bergabung dengan KPK sejak tahun 2005 ini menyebut suasana sempat cair saat awal pelaksanaan tes mengisi kuesioner yang diberikan oleh asesor dari Dinas Psikologi TNI AD.
"Lalu dia menjelaskan tes ini sifatnya asesmen, tidak ada benar-salah. Di situ kita ngeledekin mereka, 'iya enggak ada benar-salah, cuma yang dicari jawabannya pas atau enggak'. Mereka ketawa," kata Wahyu saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, Sabtu (29/5).
Wahyu mengatakan asesor juga meminta pegawai KPK tak perlu bingung mengisi kuesioner. Ia mengaku tak ada masalah dalam mengisi pilihan ganda.
Namun, Wahyu tak menyangka saat menerima soal tertulis perihal Front Pembela Islam (FPI), Rizieq Shihab, Organisasi Papua Merdeka (OPM), komunisme, hingga Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT).
Ia mulai merasa aneh dengan tes ini ketika masuk tahap wawancara. Menurutnya, para asesor tak ada yang mengenalkan diri, siapa dan dari instansi mana. Asesor juga tak menjelaskan apakah wawancara tersebut direkam atau tidak.
Selain itu, kata Wahyu, pewawancara acap kali mengarahkan pertanyaan ke hal yang tak terkait dengan wawasan kebangsaan. Misal, pertanyaan mengenai pengalaman melawan Ketua KPK, Firli Bahuri. Wahyu juga ditanya apakah pernah melawan perintah atasan. Ia menjawab tidak pernah, tetapi sering kali mempertanyakan perintah pimpinan.
Ia dicecar terkait tindakan mempertanyakan sikap Firli saat menjabat Deputi Penindakan KPK. Saat itu Firli tak menyetujui orang tertentu dalam hal ini staf menteri diperiksa sebagai saksi.
"Saya sih enggak pernah [melawan perintah], tapi saya memang mempertanyakan perintah. Waktu itu ada surat panggilan kemudian enggak boleh tuh orang dipanggil. Saya nanya kenapa enggak boleh, padahal kesaksian orang ini dalam perkara yang kita tangani itu perlu," ujarnya.
"Cuma kaitannya dengan wawasan kebangsaan apa coba? apakah itu bisa dibilang benar-salah lalu saya lulus terus teman-teman yang bersama saya jadi enggak lulus? Kan enggak masuk, ya," lanjutnya.
[Gambas:Video CNN]
Tak hanya itu, menurut Wahyu, asesor bahkan sampai mengejar pertanyaan terkait aksi penutupan Gedung KPK dengan kain hitam. Wahyu menjelaskan bahwa dirinya pernah terlibat dalam kegiatan penutupan gedung lama KPK dengan kain hitam. Aksi itu terjadi sebelum Firli bekerja di KPK.
"Jadi dia bilang, 'ini kan karena terkait pak Firli, kan?' Saya bilang saya enggak tahu Pak Firli dinas di mana. Karena itu seingat saya kegiatan penutupan gedung karena mau bikin aksi untuk menolak revisi UU [KPK] pertama'," kata Wahyu.
"Ini diarahin melawan pimpinan. Cuma pimpinannya terus disebut Pak Firli," ujarnya menambahkan.
'Kuliah' Soal Karl Marx...
Wahyu juga turut menerima pertanyaan aneh dari asesor terkait guru dan pengajian yang dirinya ikuti. Ia mengaku bingung dengan pertanyaan tersebut. Wahyu pun menjawab dirinya sekolah Islam sejak Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Hal konyol lainnya adalah ketika membahas mengenai komunisme. Wahyu berkelakar pada momen itu ia seperti menceramahi asesor mengenai Karl Marx.
Karl Marx adalah salah satu pemikir awal yang merumuskan konsep dan teori tentang komunisme.
Mulanya, ia menjelaskan perihal pendapatnya tentang PKI yang pada pokoknya sudah dibubarkan melalui keputusan presiden dan dilarang lewat ketetapan MPRS.
Selanjutnya, kata Wahyu, salah seorang asesor mengalihkan dengan menyimpulkan bahwa ia setuju jika buku-buku Karl Marx dilarang di Indonesia.
"Saya bilang, 'enggak bisa, Pak'. Kita harus lihat bahwa ajaran Karl Marx itu bukan hanya tentang komunis. Ada ajaran lain yang menurut saya juga penting buat perkembangan hukum, ekonomi, tidak hanya buat Indonesia bahkan dunia. Kalau kita kesulitan mencari bacaan tentang itu, malah repot," katanya.
"Saya jujur saja pas TWK itu ayah saya baru meninggal. Tes Senin, ayah saya meninggal hari Sabtu, Minggu makamin. Jadi, antara saya capek dan nuansa kebatinan, ya, jadi saya jawabnya, keluarlah kalimat itu, 'Makanya buku itu dibaca pak jangan cuma dibakar'," ujar Wahyu.
Berdasarkan perkembangan yang terus terjadi, ia menilai TWK merupakan alat untuk menyingkirkan orang-orang tertentu di KPK. Ia bahkan tidak mengetahui indikator-indikator apa saja yang menyatakan dirinya memenuhi syarat menjadi ASN.
"Awalnya saya enggak mau curiga cuma makin ke sini arahnya jadi jelas, yang 75 ditarget," katanya.
Terkait Wawasan Kebangsaan Minim
Penyidik KPK lolos TWK lainnya, Mu'adz D'Fahmi mengaku sudah mempersiapkan diri dengan mempelajari materi-materi wawasan kebangsaan di sela menyidik kasus korupsi.
"Saya baca, karena sebelum itu teman-teman nge-share, ada pdf, presentasi lah, sampai 100 halaman lebih pdf-nya," kata Mu'adz saat berbincang dengan CNNINdonesia.com.
Namun, ia merasa bingung ketika dihadapkan langsung dengan TWK yang justru tidak berhubungan dengan wawasan kebangsaan. Menurutnya, tak ada soal yang berkaitan dengan Pancasila.
"Yang saya pahami awal-awal tes psikologi, terakhir kemudian tes esai ini yang agak berbeda. Tes esai itu saya lupa berapa soal, seingat saya yang terkait dengan wawasan kebangsaan cuma satu, tentang Pancasila dan asas bernegara," ujarnya.
Selebihnya, Mu'adz mengaku diminta mengisi pendapat terkait FPI, kasus Rizieq Shihab, narkoba, hingga LGBT. Ia menyimpulkan kalau TWK digunakan untuk mencari nilai radikalisme karena melibatkan Dinas Psikologi TNI AD.
"Saya enggak tahu materi itu apakah masuk tentang wawasan kebangsaan, tapi kalau mencari tentang radikalisme mungkin agak sesuai," kata lulusan jurusan tafsir hadi UIN Syarif Hidayatullah.
Senada dengan cerita pegawai lainnya, ia juga dihadapkan dengan dua asesor yang tidak memperkenalkan diri saat tes wawancara. Pun pelaksanaan wawancara tidak direkam.
Di proses itu, ia mengaku dikejar dengan pertanyaan apakah kecewa dengan revisi Undang-undang KPK dan pimpinan terpilih.
"Kalau saya pribadi ini kan menghadapi orang luar, salah satu kewajiban saya secara pribadi, apa pun kekurangan yang ada, saya harus tutupi," kata Mu'adz.
Ia sangat menentang keputusan pimpinan KPK yang menonaktifkan 75 pegawai karena dinilai tak lolos TWK. Menurutnya, sejumlah nama dari daftar tersebut merupakan mereka yang berintegritas dan penuh dedikasi dalam pekerjaannya memberantas korupsi.
"Kalau masalah integritas, saya kenal betul loh orang-orang macam Novel Baswedan, Sujanarko, Harun Al Rasyid, Giri Suprapdiono. Ini saya kenal betul orang-orang ini. Karena sejak awal-awal KPK berdiri saya sudah mengenal mereka," ujarnya.
"Untuk masalah kebangsaan dan Pancasila, loh mereka itu bekerja demi NKRI dan itu perjuangannya enggak main main, apalagi isunya korupsi," kata Mu'adz.