WAWANCARA EKSKLUSIF

Budaya yang Terkikis Selepas Firli Bahuri Pimpin KPK

CNN Indonesia
Rabu, 02 Jun 2021 14:02 WIB
Ketua KPK Firli Bahuri dinilai mengikis budaya egaliter, kesederhanaan, hingga kritis yang telah tertanam sejak lembaga antirasuah tersebut berdiri.
Ketua KPK Firli Bahuri dinilai mengikis budaya egaliter, kesederhanaan, hingga kritis yang telah tertanam sejak lembaga antirasuah tersebut berdiri. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia --

Hotman Tambunan masih ingat betul nilai yang ditanamkan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) era Taufiqurrahman Ruki. Mereka menanamkan agar para pegawai KPK mewujudkan tujuan negara sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945.

Menurutnya nilai tersebut yang selalu diingat para pegawai ketika menemukan dugaan korupsi.

"Sehingga kami itu kalau melihat korupsi, kami tidak ada ampun. Siapa yang bersalah, siapa yang berbuat tidak benar di bidang korupsi, harus dimintai pertanggungjawaban," kata Hotman saat berbincang dengan CNNIndonesia.com.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hotman sudah berkarier di lembaga antirasuah sejak 15 tahun lalu. Ia merasakan lima kali kepemimpinan di KPK, termasuk era Firli Bahuri.

Pendiri Oikumene di KPK itu pun merasakan pergeseran nilai dari sejak awal lembaga ini berdiri sampai hari ini. Menurutnya, era kepemimpinan Ruki Cs, mereka juga diajarkan sikap kritis.

Pimpinan saat itu, kata Hotman, meminta dikritik jika secara sengaja ataupun tidak mengintervensi suatu penanganan kasus. Budaya egaliter pun terjaga.

"Mereka mengatakan biarpun misalnya itu datang dari pimpinan yang mengintervensi kasus, kalau kamu merasa benar, kamu harus katakan benar. Kalau kamu merasa jujur, kamu harus katakan jujur. Karena apa? Karena itu lah yang menjadi kekuatan organisasi ini," kata dia.

Berlanjut ke periode pimpinan jilid II hingga jilid IV, Hotman memaklumi ada perubahan yang terjadi menyesuaikan dengan gaya pimpinan masing-masing. Namun, ia menegaskan nilai egaliter masih terus ditanamkan dan dijaga rohnya.

"Bawahan boleh mengkritik atasan. Kalau memang dirasa sesuatu ada yang tidak benar, atasan wajib mendengar kritik itu," ujarnya.

Hotman merasakan terjadi perubahan di bawah kepemimpinan Firli Bahuri. Ia mengatakan budaya yang paling terasa hilang adalah sikap egaliter.

"Di periode terakhir ini, di periode Bapak Firli Bahuri, cenderung sifat-sifat egaliter itu hilang. Bahkan, terkikis. Bahkan, sekarang itu ada kondisi-kondisi yang membuat eksklusivisme," ujarnya.

Hotman merasa aneh ketika melihat pimpinan KPK saat ini memiliki banyak ajudan. Menurutnya, para pimpinan terkesan berlindung di balik ajudan. Kondisi ini tak pernah Hotman jumpai pada kepemimpinan sebelumnya.

"Kami berpikir, kultur-kultur seperti itu seharusnya tidak cocok untuk organisasi antikorupsi seperti di KPK," katanya.

Hotman menilai Firli Cs telah merusak budaya transparansi dan akuntabilitas yang sudah dibangun sejak lembaga berdiri. Padahal, kata dia, akar korupsi justru terjadi satu di antaranya karena ketertutupan.

"Cenderung memang budaya-budaya intervensi. Saya duga ya, agak saya yakini, kayaknya kita rasakan gitu ya kultur-kultur budaya seperti itu agak mau dihidupkan di KPK ini," ujarnya.

Sementara itu, fungsional pada Direktorat Pembinaan Peran Serta Masyarakat, Benydictus Siumlala mengatakan KPK di bawah periode kepemimpinan saat ini selalu dihadapkan dengan kontroversi sehingga mengganggu pekerjaan utama.

"Ketika kemudian berganti ke jilid sekarang, kayaknya menurut saya kok lebih banyak berhadapan dengan kontroversi. Pekerjaan sebenarnya justru enggak kepegang karena kita kebanyakan berhadapan dengan kontroversi yang sebagian besar dibuat oleh Ketua [Firli Bahuri]," ujar Beny.

Sejumlah kontroversi yang dibuat Firli versi Beny antara lain terkait dengan pengabaian atas nilai kesederhanaan. Hal itu terlihat saat perjalanan dinas ke Sulawesi Barat dan penggunaan helikopter untuk kepentingan pribadi pergi ke ziarah makam orang tua.

"Saya enggak menyalahkan beliau ziarah ke makam orang tuanya. Itu wajar-wajar saja. Tapi, kemudian ketika keperluan pribadi itu dilakukan dengan menggunakan helikopter, sementara nilai yang kita junjung itu kesederhanaan, ya, kan, sangat bertentangan," ujarnya.

Kontroversi selanjutnya, kata Beny, adalah ketika Firli menggelar agenda memasak nasi goreng di tengah sorotan publik terhadap kinerja KPK. Saat itu, publik sangat menaruh perhatian penanganan kasus suap komisioner KPU.

"Jadi, lebih banyak kontroversinya daripada prestasinya yang jilid sekarang kalau menurut saya," katanya.

Budaya KPK adalah Melawan

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER