AMAN Pertanyakan Motif Pemilihan Nagita Slavina Jadi Duta PON
Kritik dari Komika Arie Kriting soal cultural appropriation alias perampasan atau klaim budaya terkait pemilihan selebritas Nagita Slavina sebagai Duta Pekan Olahraga Nasional (PON) XX Papua dinilai valid. Diskriminasi terhadap Bumi Cendrawasih pun disorot.
Aliansi Masyarakat Adat Nasional (AMAN) mempertanyakan alasan dan motif penunjukkan Nagita Slavina sebagai Duta PON.
Diketahui, Nagita Slavina, yang merupakan bukan orang Papua, sebelumnya terpilih sebagai duta PON Papua. Arie Kriting pun menawarkan sejumlah opsi pendamping yang merupakan perempuan asli Papua.
"Kalau kemudian si Duta PON ini bukan orang Papua dan mengenakan atribut-atribut Papua dan orang Papua, [jika] menyatakan [cultural] appropiation itu adalah alasan yang valid," kata Sekjen AMAN Rukka Simbolinggi, saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (3/6) sore.
Dikutip dari Cambridge Dictionary, cultural appropriation is the act of taking or using things from a culture that is not your own, especially without showing that you understand or respect this culture.
Apropriasi kultural merupakan tindakan mengambil atau menggunakan sesuatu dari budaya yang bukan milik Anda sendiri, khususnya tanpa memperlihatkan bahwa Anda memahami atau menghormati budaya tersebut.
Menurut Rukka, fenomena ini terjadi saat kekayaan masyarakat adat dicuri oleh orang atau kelompok lain dan digunakan untuk kepentingan mereka.
Mengenai polemik pemilihan Nagita Slavina senagai Duta PON di bumi cenderawasih, Rukka menduga hal itu dilakukan pemerintah karena gelaran tersebut merupakan acara nasional.
"Akan tetapi akan menjadi lebih elok dan akan menjadi lebih tepat ketika duta dari PON di mana PON itu akan dilaksanakan di Papua itu memang orang asli dari Papua," kritiknya.
Lebih lanjut, Rukka mengatakan bahwa kasus kultural apropriasi dalam 20 tahun terakhir banyak dilakukan oleh kalangan desainer fesyen.
Salah satunya brand Zara, yang digugat pemerintah Mexico karena dinilai mengambil desain baju masyarakat Mexico dan menjualnya. Dari tindakan ini, Zara mengambil keuntungan.
"Dan apa yang bisa dilihat dari kasus ini ya bisa disebut cultural appropriation, tapi motifnya harus dicek," lanjut Rukka.
Baca halaman berikutnya ...