Pernyataan serupa Bawono dan Febri Diansyah diungkapkan pula oleh pengamat politik dari Universitas Andalas, Padang, Asrinaldi. Ia mengamini, polemik TWK KPK hanya akan menjadi bancakan para politisi, terutama menjelang hajatan politik menuju 2024.
Pendapat Asrinaldi merujuk fakta bahwa selama ini, para parpol memang membutuhkan ongkos politik yang besar di setiap momentum politik besar. Apalagi, pada 2024 tiga agenda politik akbar akan digelar di waktu yang bersamaan.
Di sisi lain, sumber dana parpol yang diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2011, masih di bawah kebutuhan mereka dalam proses suksesi. Menurut Asrinaldi, jumlah yang mereka dapat dari iuran anggota dan negara masih jauh dari kebutuhan mereka di setiap hajatan politik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau pun ada, minimum, karena biayanya habis untuk operasional," kata dia kepada CNNIndonesia.com, Senin.
"Nah persoalannya adalah ketika mereka menghadapi pemilu itu yang dibutuhkan sangat besar. Memobilisasi massa membutuhkan biaya yang tidak sedikit," imbuhnya.
Walhasil, kata Asrinaldi, kondisi itu membuat banyak parpol lebih banyak menerima dana sumbangan dari luar. Masalahnya, sumber keuangan tersebut kerap tak dilaporkan dengan transparan, sebab jumlahnya di atas yang ditentukan UU.
UU Nomor 2/2011 tentang Partai Politik mengatur sejumlah sumber keuangan parpol. Selain iuran anggota dan pemerintah, parpol boleh menerima sumbangan dari perseorangan dan badan atau lembaga, namun dengan jumlah yang dibatasi.
Khusus perseorangan, jumlahnya dibatasi maksimal hanya Rp1 miliar. Sedangkan, dari badan atau lembaga maksimal Rp7,5 miliar. Sedangkan, sumber yang dilarang yakni dari luar negeri dan perusahaan publik.
"Sumbangan dalam konteks pilkada, pilpres, oleh perusahaan, organisasi, individu itu tidak selamanya, dan cenderung tidak dilaporkan secara jujur," kata Asrinaldi.
"Dan itu menjadi sumber masuknya pencucian uang," imbuhnya.
Respons KPK hingga Parpol soal dugaan terkait agenda 2024 ada di halaman selanjutnya.