Feri pun meminta para perumus RKUHP memahami sistem presidensial. Menurutnya, kritik dan hinaan merupakan hal yang boleh dilakukan secara terbuka di negara yang menganut sistem presidensial.
Ia pun menyarankan Indonesia meniru sikap Amerika Serikat (AS) dalam merespons kritik atau hinaan.
"Di negara yang menganut presidensial terbuka saja kritik, hinaan, dan segala macam bahkan Presiden AS pernah dibilang idiot oleh publik, biasa saja," ucapnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Wijayanto menimpali bahwa pasal-pasal produk kolonial itu bisa muncul lagi akibat situasi politik di Indonesia yang saat ini diduga mengalami kemunduran demokrasi.
Argumen ini, katanya, didukung oleh analisa Economist Intelligence Unit pada 2019 dan 2020 yang memposisikan Indonesia di urutan ke 64 dalam daftar negara demokrasi di Asia dan Australia. Posisi Indonesia jauh di bawah negara seperti Selandia Baru, Australia, Korea Selatan, Jepang, hingga India.
Sejumlah ahli dalam hingga luar negeri pun mendeskripsikan kemunduran demokrasi di Indonesia dengan berbagai sebutan negatif, misalnya defective democracy (demokrasi yang rusak), democratic setback (kemunduran demokrasi), democratic deconsolidation (dekonsolidasi demokrasi).
"Tidak hanya demokrasi mengalami kemunduran yang serius. Namun juga sudah mengalami putar balik ke arah otoritarianisme. Praktik otoritarian sudah mulai dilakukan. Itu menjelaskan mengapa RUU KUHP kembali," tuturnya.
Menurut Wijayanto, kondisi kemunduran demokrasi dan otoritarianisme ini bisa terjadi karena besarnya kekuatan oligarki di Indonesia yang mengalahkan masyarakat sipil.
Pembahasan RKUHP sendiri sempat mengundang gelombang penolakan masif dari masyarakat sipil dan mahasiswa pada 2019 lalu. Indonesia sempat dilanda rentetan demonstrasi penolakan hingga akhirnya RKUHP batal disahkan.
![]() |
Namun kini pemerintah kembali berambisi memasukkan RKUHP sebagai RUU Prioritas 2021. Kritik pun mulai bermunculan karena draf aturan tersebut dinilai masih menyimpan pasal-pasal kontroversial.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly berdalih pasal itu bertujuan untuk memidanakan pihak-pihak yang menyerang harkat dan martabat presiden secara personal.
Menurutnya, publik harus dapat membedakan antara kritik dan penghinaan.
"Mengkritik presiden itu sah, kritik kebijakan sehebat-hebatnya kritik. Bila tidak puas pun ada mekanisme konstitusi. Tapi sekali soal personal, yang kadang-kadang dimunculkan, presiden kita dituduh secara personal dengan segala macam isu," ujar Yasonna, di gedung DPR, Rabu (9/6).
(fey/mts/arh)