Pakar: Pasal Penghinaan Presiden Warisan Penjajah
Pasal penghinaan presiden di Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) disebut sebagai warisan kolonial Belanda yang pada masanya ditujukan untuk membungkam kritik pers. Upaya menghidupkannya dinilai sebagai kemunduran drastis demokrasi.
"Pasal-pasal ini sudah ada sejak zaman kolonial dan tujuannya, kaitan dengan pers, untuk merepresi jurnalis pada masa itu. Memprihatinkan itu produk kolonial yang dipakai untuk menundukkan jajahannya, namun dipakai hari ini di suatu negara yang sudah merdeka kepada warganya," kata Direktur Center for Media and Democracy Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi Sosial (LP3ES) Wijayanto, pada kanal Youtube ICJRID, Kamis (10/6)
Pasal-pasal tersebut adalah Pasal 218 dan Pasal 2019 yang mengatur tentang Tindak Pidana terhadap Martabat Presiden dengan ancaman penjara 3 tahun 6 bulan atau denda Rp200 juta. Lalu, Pasal 240 dan Pasal 241 mengatur tentang Tindak Pidana Penghinaan terhadap Pemerintah dengan ancaman penjara 4 tahun 6 bulan atau denda Rp500 juta.
Kemudian, Pasal 353 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 354 yang mengatur tentang Tindak Pidana Penghinaan terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara dengan ancaman berturut-turut penjara 1 tahun 6 bulan atau denda Rp10 juta, penjara 3 tahun atau denda Rp50 juta, dan penjara 2 tahun atau denda Rp50 juta.
Selanjutnya, Pasal 273 yang mengatur tentang Tindak Pidana Penyelenggaraan Pawai, Pesta, atau Keramaian Tanpa Izin dengan ancaman penjara 1 tahun atau denda Rp10 juta.
Senada, pakar hukum dari Universitas Andalas Feri Amsari menyebut keberadaan pasal tersebut di KUHP ialah untuk melindungi kerajaan Belanda saat masa penjajahan.
Baca juga:Mahasiswa Ancam Gelar Aksi Tolak RKUHP |
"Pasal penghinaan presiden dan lembaga negara merupakan pasal yang dahulu dibuat sebagai upaya perlindungan kerajaan Belanda," kata Feri kepada CNNIndonesia.com, Kamis (10/6).
Ia menyatakan bahwa pasal penghinaan presiden dan lembaga negara membawa semangat kolonialisme dan membuka ruang serta menghidupkan jarak antara rakyat dan pemerintah.
Bahkan, menurutnya, keberadaan pasal itu akan membuat relasi pemerintah dan rakyat seolah seperti penjajah dan yang dijajah.
"Dalam sistem presidensial, presiden boleh dikritik secara terbuka, berbeda dengan konsep kerajaan di mana pemerintahannya dianggap wakil Tuhan di muka bumi," katanya.
Feri menyatakan pasal penghinaan presiden dan lembaga negara harus dihapus dari draf RKUHP karena Mahkamah Konstitusional (MK) telah memutuskan bahwa keberadaan pasal itu di KUHP inkonstitusional.
"Secara konstitusional penghinaan presiden itu sudah dianggap inkonstitusional, jadi harus dihapuskan," katanya, "Jadi tidak boleh dalam draf UU bertentangan konstitusi, harus patuhi putusan MK".
Halaman berikutnya tentang kemunduran demokrasi...