Pakar hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Mudzakir menilai ada potensi pelanggaran hak asasi dalam pelaksanaan tes wawasan kebangsaan (TWK) bagi pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Oleh karena hal itu, menurutnya, Komnas HAM sudah tepat untuk menangani kasus tersebut. Sebagai informasi, beberapa waktu lalu, pegawai KPK yang tidak lolos TWK telah melakukan pelaporan ke Komnas HAM.
"Potensi pelanggaran HAM menurut saya ada, karena pertanyaan-pertanyaannya," kata Mudzakir saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (9/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut dia, sejumlah pertanyaan yang diajukan dalam pelaksanaan berpotensi menyerang kebebasan beragama seseorang. Ia mencontohkan pertanyaan soal pilihan antara Al-Qur'an atau Pancasila.
Selain itu, ada juga pertanyaan yang dinilainya berpotensi diskriminasi yang salah satunya terhadap perempuan.
Mudzakir mengatakan, selain berpotensi melanggar HAM, pertanyaan-pertanyaan yang didapatkan para pegawai KPK dalam TWK itu juga tidak mencerminkan nilai-nilai nasionalisme dan pemberantasan korupsi.
"Kalau nasionalisme harusnya pertanyaannya dalam konteks nasional. Bukan antara norma satu dan norma lain, yang tidak ada hubungannya dengan masalah nasionalisme," ucap dia.
Lebih lanjut, Mudzakir mengatakan, karena adanya celah pelanggaran hak asasi, pimpinan KPK seharusnya datang untuk memenuhi panggilan klarifikasi dari Komnas HAM.
"Wajib datang untuk bertanggung jawab. Juga untuk mengakui siapa yang membuat soal seperti itu," ujarnya.
![]() |
Dihubungi terpisah, pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai pelaksanaan tes untuk pegawai KPK itu sendiri tidak bisa serta merta disebut sebagai pelanggaran HAM. Meskipun demikian, sambungnya, jika tes tersebut terbukti sengaja dijadikan alat untuk menyingkirkan orang, itu sudah tegas sebagai pelanggaran hak asasi.
"Karena seharusnya dengan dasar hasil test itu dilakukan pembinaan terhadap mereka yang dianggap kurang, bukan disingkirkan. Hanya orang jahat yang akan menyingkirkan orang lain seolah-olah melalui sebuah tes yang disakralkan," kata Fickar.
Seperti halnya Muzakir, Fickar menilai para pimpinan KPK seharusnya datang memenuhi panggilan pemeriksaan oleh Komnas HAM.
Menurutnya, ketidakhadiran pimpinan KPK akan memperlihatkan sikap yang pengecut.
"Seharusnya kalau jantan harus datang, konsekuensi dari anggota komisi, kalau tidak datang, selain pengecut juga dianggap tidak berani menanggung resiko sebagai pimpinan, yang artinya tidak bisa memimpin," ujarnya.
Firli Bahuri cs diketahui sebelumnya mangkir dalam agenda pemeriksaan pertama di Komnas HAM terkait TWK karena alasan ada rapat pimpinan.
Pimpinan lembaga antirasuah itu juga berkirim surat kepada Komnas HAM untuk meminta penjelasan lebih dahulu mengenai hak asasi apa yang dilanggar pada pelaksanaan alih status pegawai KPK
Ketidakhadiran Firli cs belakangan didukung Menpan-RB Tjahjo Kumolo yang menyebut tak ada kaitan TWK dengan pelanggaran HAM. Sementara itu, Komnas HAM telah melayangkan panggilan kedua untuk pimpinan KPK.
Merespons pernyataan Tjahjo, Komisioner Komnas HAM Choirul Anam mengaku pihaknya telah banyak belajar dari pengalaman terkait potensi pelanggaran HAM yang kerap terjadi dalam banyak aspek, termasuk pelaksanaan undang-undang seperti tes wawasan kebangsaan (TWK).
"Banyak pengalaman di berbagai kasus, peristiwa pelanggaran HAM atau bukan pelanggaran HAM lahir dalam dimensi itu [pelaksanaan UU]," kata Anam kepada CNNIndonesia.com, Selasa (8/6).
"Dalam konteks ini, kami melakukan pendalaman Proses, pelaksanaan, dinamika, dan substansi menjadi perhatian Komnas HAM," katanya.
Ia tak membantah bahwa pelaksanaan TWK, yang merupakan bagian dari asesmen, merupakan amanat undang-undang. Namun, ia mengingatkan pula ada sejumlah catatan pelaksanaan undang-undang kerap diwarnai pelanggaran hak asasi manusia.
(yoa/kid)