Poin-poin Krusial RKUHP: Hina Presiden hingga Kumpul Kebo
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) telah merampungkan sosialisasi Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) di Hotel JS Luwansa, Jakarta, Senin (14/6). Jakarta menjadi lokasi terakhir untuk mensosialisasikan kodifikasi tersebut.
Sebelumnya, Kemenkumham sudah menyelenggarakan sosialisasi RUU KUHP di 11 kota di Indonesia. Seperti Medan, Semarang, Denpasar, Yogyakarta, Ambon, Makassar, Padang, Banjarmasin, Surabaya, Mataram, dan Manado.
Tim ahli penyusun RKUHP yang juga merupakan Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada (UGM), Markus Priyo Gunarto, mengatakan terdapat usulan perubahan bahkan penghapusan di beberapa Pasal dalam RUU KUHP dengan mempertimbangkan banyak hal. Rinciannya sebagai berikut.
1. Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden
Tim ahli penyusun RUU KUHP menilai Pasal 217, Pasal 218, dan Pasal 219 RUU KUHP tentang Tindak Pidana terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden tetap dimasukkan. Dalam argumentasinya, Markus mengacu pada peraturan yang diterapkan oleh beberapa negara tetangga di mana aturan terkait ini sudah diatur.
"Jadi, kalau kemudian terhadap perbuatan yang sama yang ditujukan kepada kepala negara sahabat atau wakil negara sahabat itu diancam dengan pidana, kok pada kepala negara sendiri diusulkan untuk tidak dipidana, reasoning-nya bagaimana, ya?" ujar Markus, Senin (14/6).
Markus menuturkan dalam sistem negara demokrasi terdapat sejumlah asas yang harus dijunjung tinggi, seperti asas kesetaraan, asas persekutuan, asas kepribadian, dan asas kewibawaan.
Menurut dia, di dalam kehidupan bermasyarakat akan ada orang tertentu yang diberikan tugas-tugas khusus, istimewa, dan membedakan dari orang lainnya. Dengan itu, orang tersebut harus diberikan kewibawaan.
"Jadi, asas kewibawaan ini tercermin di dalam penghormatan terhadap kepala negara, presiden atau wakil presiden. Terhadap kepala negara sahabat saja kita hormati, masa kepada kepala negara sendiri tidak dihormati? Ini suatu pertanyaan yang sangat mendasar dan prinsipil," imbuhnya.
Di samping itu, Markus menambahkan bahwa tim perumus juga memikirkan perihal perlindungan dan pencegahan konflik dalam suatu kebijakan perundang-undangan.
"Karena yang namanya kepala negara, presiden, itu dipilih dan didukung oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Presidennya mungkin tidak marah, tetapi pendukungnya bisa marah. Ini yang kita cegah," tutur dia.
"Yang tidak didukung oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, yang hanya didukung oleh segelintir kelompok saja kalau ketuanya dihina marah, kok. Ini simbol negara yang tadi sudah dijelaksan oleh pak Wamen [Wamenkumham, Edward Omar Sharif Hiariej], bahwa simbol negara ini juga perlu dilindungi," lanjutnya.
Ketentuan terkait hal ini tertuang dalam Pasal 217 RUU KUHP yang menyatakan setiap orang yang menyerang diri Presiden atau Wakil Presiden yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana yang lebih berat dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 tahun.
Kemudian Pasal 218 RUU KUHP. Terdapat ancaman pidana paling lama 3,5 tahun bagi setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden dan Wakil Presiden, atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Kemudian Pasal 219 RUU KUHP yang mengatur sanksi 4,5 tahun penjara bagi setiap orang yang mempublikasikan di muka umum terkait penyerangan terhadap Presiden dan Wakil Presiden.
2. Penawaran untuk Melakukan Tindak Pidana (Dukun Santet)
Markus menyatakan dalam RUU KUHP tidak diatur mengenai Pasal tentang dukun santet, melainkan hanya perbuatan yang dapat mencelakakan orang lain atau menimbulkan sakit bagi orang lain. Ini merupakan delik formil, bukan materiil.
"Jadi, sepanjang yang bersangkutan itu menyatakan saya mempunyai kemampuan yang dapat mencelakakan orang lain atau menimbulkan sakit bagi orang lain itu sudah kena. Bukan berarti bahwa harus dilihat hubungan kausalitas antara akibat dan perbuatan. Tidak," ungkap dia.
Tim perumus dalam hal ini mempertimbangkan kasus di Banyuwangi di mana seseorang yang dituduh sebagai dukun santet mengalami penganiayaan oleh sekelompok masyarakat.
"Tetapi, orang itu barangkali tidak mempunyai kekuatan seperti itu atau bahkan melakukan perbuatan itu. Ini kan viktimogi. Nah, karena faktual itu ada, maka ketentuan bahwa menyatakan diri dapat melakukan sesuatu tindak pidana karena memiliki kekuatan gaib ini, ini tetap dipertimbangkan," kata Markus.
Ketentuan menawarkan untuk melakukan tindak pidana termuat dalam Pasal 249-Pasal 252 RUU KUHP.
Pasal 252 berbunyi: (1). Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental atau fisik seseorang dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
(2) Jika setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, pidananya dapat ditambah dengan 1/3.
3. Pasal Praktik Dokter dan Dokter Gigi
Tim perumus mengatakan pemerintah mengusulkan menghapus Pasal yang mengatur tentang ancaman pidana bagi dokter dan dokter gigi yang dalam melaksanakan pekerjaannya tidak tanpa izin. Sebab, hal itu sudah tertuang dalam Pasal 76 Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Dalam aturan tersebut diatur ancaman pidana paling lama tiga tahun penjara dan denda paling banyak Rp100juta.
4. Pasal tentang Unggas
Markus mengatakan tim perumus menerima masukan bahwa Pasal 278 RUU KUHP tentang Gangguan terhadap Tanah, Benih, Tanaman dan Pekarangan masih diperlukan oleh para petani.
Dengan masukan berbagai pihak, tim perumus mengakomodasi bahwa Pasal ini tidak hanya sebagai delik formil, melainkan juga materiil.
"Dan karena juga menimbulkan kontroversi karena ini tidak terjadi di kalangan petani, bisa di masyarakat umum, maka kemudian kita tambahkan yang tadinya delik formil, ya, kemudian ditambahkan yang menimbulkan kerugian," ucap Markus.
Ini tertuang dalam Pasal 278 RUU KUHP yang menyatakan setiap orang yang membiarkan unggas yang diternaknya berjalan di kebun atau tanah yang telah ditaburi benih atau tanaman milik orang lain dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori II.
5. Pasal Contempt of Court
Pasal mengenai gangguan dan penyesatan terhadap proses peradilan (Contempt of Court) juga mengundang kontroversi. Pasal ini disebut merugikan jurnalis.
Ada ancaman pidana penjara paling banyak kategori II terhadap setiap orang yang pada saat sidang pengadilan berlangsung tanpa izin pengadilan merekam, mempublikasikan secara langsung, atau membolehkan untuk dipublikasikan proses persidangan.
Markus menerangkan ketentuan itu berlaku terkait sarana live streaming pada saat sidang berlangsung.
"Yang dimaksud dengan yang dipublikasikan secara langsung misalnya adalah live streaming, audio visual yang tidak diperkenankan. Nah, tentu saja ini tidak mengurangi kebebasan jurnalis atau wartawan untuk menulis berita atau mempublikasikannya," kata Markus.
"Kenapa ini perlu diatur? Karena dalam praktik persidangan itu kan kadang ada beberapa saksi yang harus diperiksa. Nah, nanti kalau dibolehkan live streaming tanpa izin dari hakim, itu saksi yang akan diperiksa kemudian itu sudah mengetahui keterangan-keterangan yang disampaikan oleh saksi yang sebelumnya," sambungnya.
Berlanjut ke halaman berikutnya...