Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane dinyatakan meninggal dunia pada Rabu (16/6). Neta meninggal dunia dalam perawatan rumah sakit sejak 5 Juni lalu karena positif covid-19.
Semasa hidupnya, Neta bisa dikatakan sebagai sosok yang cukup lantang memberikan kritikannya ke institusi Polri dalam kapasitasnya sebagai Ketua Presidium IPW.
CNNIndonesia.com merangkum berbagai kritikan yang disampaikan Neta terkait berbagai kebijakan korps Bhayangkara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di tahun 2016, Neta pernah menyalahkan kepolisian atas kemacetan panjang yang terjadi di Tol Pejagan saat puncak arus mudik Lebaran. Ia menilai kemacetan itu terjadi karena polisi tidak mampu merekayasa lalu lintas secara maksimal.
"Korlantas Polri dan Polda Jawa Tengah tidak mampu merekayasa lalu lintas mudik secara maksimal," kata Neta kala itu.
Masih di tahun yang sama, Neta juga mengkritik soal pengurusan perpanjangan surat kendaraan. Menurutnya, proses ini menjadi penyebab pungutan liar di kepolisian, khususnya di jajaran polisi lalu lintas.
Surat kendaraan yang menjadi sumber pungli di jajaran lalu lintas Polri yakni pengurusan perpanjangan Surat Izin Mengemudi (SIM), Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB).
"Selama ini publik sangat merasakan praktik-praktik pungli di pusat pelayanan kepolisian. Pengurusan perpanjangan adalah biang kerok terjadinya pungli," ucap Neta.
Neta juga sempat menyatakan kritik terhadap Polri terkait pencegahan aksi terorisme. Kritik ini disampaikan usai peristiwa penusukan yang menimpa mantan Menko Polhukam Wiranto dan bom bunuh diri di Mapolrestabes Medan di tahun 2019.
Neta menilai dua peristiwa itu merupakan bentuk kegagalan polisi dalam mencegah terorisme. Tak hanya itu, kepolisian juga dinilai tak sigap dalam melakukan deteksi dini padahal cukup banyak anggotanya yang kerap menjadi serangan teror.
"Ironisnya, dalam kondisi seperti ini polisi terkadang sangat ceroboh, lengah dan tidak sigap melakukan deteksi dini," ujarnya.
Di masa kepemimpinan Jenderal Idham Azis, Neta pernah melayangkan kritik terkait penunjukan 17 tokoh nasional sebagai penasihatnya dalam memimpin institusi Polri.
Selaku ketua Presidium IPW, Neta menganggap keberadaan para tokoh itu tak ubahnya sebagai pajangan semata. Sebab, sebagai penasihat secara struktural, Kapolri sudah punya staf ahli yang menangani berbagai bidang.
"Selama ini keberadaan penasihat ahli di lingkungan Kapolri lebih banyak sebagai pajangan," ujar Neta.
Neta juga turut bersuara dalam kasus pelarian buronan kasus cessie Bank Bali Djoko Tjandra. Dalam kasus ini, Neta menduga ada dua lembaga di internal Polri yang berperan membantu pelarian Djoktjan.
Yakni, Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) dan National Central Bureau (NCB) Interpol Indonesia yang dibawahi Divisi Hubungan Internasional Mabes Polri.
"Kedua lembaga itu nyata-nyata melindungi Djoko Tjandra. Apa mungkin ada gerakan gerakan individu dari masing-masing jenderal yang berinisiatif melindungi Djoko Tjandra," kata Neta.
Dalam kasus ini sendiri, Polri pun memberhentikan dua jenderal dari jabatannya. Yakni, Irjen Napoleon Bonaparte dari jabatan Kadiv Hubinter Polri dan Brigjen Nugroho Slamet Wibowo dari jabatan Sekretaris NCB Interpol Indonesia.
Di tahun 2020, Kapolri Jenderal Idham Aziz mengeluarkan surat telegram rahasia (STR) yang melarang kegiatan unjuk rasa atau demo buruh menolak Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja pada 6-8 Oktober 2020.
Telegram ini pun tak luput dari serangan kritik Neta. Ia menilai telegram tersebut berlebihan lantaran Kapolri terlihat tidak memahami bahwa persoalan buruh adalah hal yang laten dan tidak pernah berhenti bergejolak sejak Indonesia merdeka.
"TR ini tentu sudah sangat berlebihan, tidak independen, dan tidak promoter (profesional, modern, dan terpercaya)," ujarnya.