HUT DKI JAKARTA KE-494

Rawa Bening dan Para Tukang Gosok Batu Akik Tanpa Pelanggan

CNN Indonesia
Selasa, 22 Jun 2021 13:57 WIB
Para pedangan dan perajin batu akik di Pasar Rawa Bening terpukul oleh tren pasar pada 2014 yang hanya memberi keuntungan tinggi dalam sekejap.
Keramaian pembeli di Pasar Rawa Bening saat tren batu akik masih pada puncaknya, 19 September 2014. (Foto: Safir Makki)

Penjual sekaligus perajin batu mulia di Pasar Rawa Bening, Dimas (26), mengaku dalam sehari paling sedikit ia bisa mengantongi Rp500 ribu di saat tren sedang tinggi.

"Dulu paling banyak seharinya ada Rp5 juta. Itu saya masih pedagang kecil ibaratnya, apalagi pedagang gede," ujarnya, yang mulai berdagang selulus SMA saat fenomena batu akik belum meledak.

Menurut Dimas, saat itu banyak pedagang batu akik yang kaget karena mendapatkan untung yang begitu besar. Permintaan pasar sangat tinggi. Sementara, batu tidak dibanderol dengan harga tertentu seperti halnya emas.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Beberapa dari pedagang batu lantas membeli mobil, tanah, hingga rumah. Terutama yang pedagang yang masih berusia muda. Selain itu, banyak dari mereka juga menyetok batu dan cincin dalam jumlah yang tidak wajar.

"Gila-gilaan. Dulu titanium yang paling gila itu. Ton-tonan, berapa kontainer dulu itu," kata Dimas.

Namun, gemerlap batu akik tidak berumur panjang. Tidak sampai setahun, banyak pedagang batu akik ambruk setelah tren berkurang.

Menurut Jeki, hal ini dipengaruhi oleh barang-barang impor yang membanjiri pasar. Batu akik dan asesorisnya bisa ditemukan di mana-mana. Kata dia, itu membuat orang bosan.

Di sisi lain, ia memahami bahwa barang impor dari China semakin murah.

"Cincin-cincin kayak gitu dulu kan barang impor. Kalau barang impor makin lama bukan makin mahal, pasti makin murah karena makin banjir. Kalau barangnya sedikit itu pasti stabil harganya," tutur Jeki.

Kemerosotan itu membuat tidak sedikit pedagang batu ataupun cincin babak belur. Sebab, mereka telanjur menyetok barang dalam jumlah banyak, bahkan hingga membeli kios.

Akibatnya, mereka terpaksa menjual barang-barang itu dalam harga murah.

Jeki sendiri telah memprediksi bahwa harga tinggi barang-barang dari China yang membanjiri pasaran tidak akan berlangsung lama.

"Itu jual kemana? Orang udah enggak buru lagi. Ada juga yang beli tapi murah kan. Ibaratkan udah rugi, enggak dijual numpuk, dijual rugi. Ya, udah rugi aja dijual," selorohnya.

Sementara, Dimas pada saat itu sudah bermain aman. Ia hanya menyetok sedikit barang lalu menjualnya. Begitu habis dan mendapatkan untung, mereka baru menyetok lagi.

Nahas bagi pedagang batu yang salah memperhitungkan. Misalnya, pedagang batu akik yang ikut-ikutan. Golongan ini merupakan pedagang batu yang beralih profesi dari pekerjaan mereka sebelumnya.

"Pas [tren batu akik] itu turun langsung ke bawah, udah banyak yang tumbang. Ya, sekarang Abang liat aja banyak yang tutup," kata Dimas.

Menurut Dimas, 2014 bukanlah tahun yang manis. Meskipun minat pasar begitu tinggi, ia menilai kebanyakan pembeli hanya ikut-ikutan. Fenomena itu membuat ekosistem perdagangan batu akik tidak stabil.

Saat ini, meskipun pandemi, konsumen yang membeli batu akik adalah orang yang benar-benar memiliki hobi mengoleksi batu mulia. Meskipun pendapatannya menurun hingga hanya Rp13 juta per bulan, Dimas merasa tahun ini lebih baik dari 2014.

"Lebih bagus sekarang dari pada dulu. Dulu kan orang ngikut-ngikut doang," ujarnya.

(iam/arh)


[Gambas:Video CNN]

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER