ANALISIS

PPKM Mikro Tak Efektif, Lockdown Regional Jadi Jalan Tengah

CNN Indonesia
Selasa, 22 Jun 2021 10:35 WIB
Lockdown regional, menurut epidemiolog dapat menjadi jalan tengah untuk mengatasi lonjakan kasus Covid (CNN Indonesia/ Adi Maulana)
Jakarta, CNN Indonesia --

Penularan virus Corona (Covid-19) selama dua pekan terakhir di Indonesia tampak tak terkendali. Data Kementerian Kesehatan RI mencatat, kasus corona harian di Indonesia bertambah hingga 14.536 pada Senin (21/6).

Angka tersebut menjadi jumlah kasus harian tertinggi selama wabah Covid-19 menyebar di Indonesia. Tambahan kasus harian itu menandakan kasus kumulatif positif virus corona di Indonesia sudah tembus 2.004.445 kasus. Dari jumlah tersebut, sebanyak 1.801.761 dinyatakan sembuh, dan 54.956 meninggal dunia. Dengan demikian, per hari ini ada 147.728 kasus yang masif aktif di Indonesia.

Pemerintah kembali memperketat aturan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) skala mikro. Kebijakan itu berlaku mulai hari ini, Selasa (22/6) sampai 5 Juli 2021.

Dalam kebijakan baru ini, aturan bekerja dari rumah atau work from home (WFH) memiliki 75 persen untuk wilayah zona merah. Kemudian sekolah tatap muka dihentikan, tempat ibadah ditutup, dan hajatan masyarakat hanya boleh 25 persen.

Ketua Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 Ganip Warsito menilai pemerintah lebih memilih untuk menerapkan kebijakan PPKM ketimbang penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Apabila PSBB diberlakukan, kata dia, akan berdampak besar pada sektor sosial, ekonomi, hingga keamanan.

"Kalau kita melakukan PSBB, dampak sosial-ekonominya termasuk keamanan ini juga akan implikasinya terlalu besar," kata Ganip.

Epidemiolog dari Universitas Griffith Dicky Budiman menilai kebijakan pengetatan kegiatan masyarakat dalam kebijakan PPKM skala mikro sudah terbukti gagal dan tak efektif dalam menekan laju penularan selama ini. Ia pesimistis PPKM skala mikro bisa efektif diterapkan di tengah lonjakan kasus yang makin meninggi.

"Saat awal tahun ini saya sudah menganalisa PPKM tidak akan efektif," kata Dicky.

Dicky menjelaskan ada dua indikator tak efektifnya kebijakan PPKM dalam menekan laju kasus selama ini. Pertama, proses penelusuran (tracing), pemeriksaan (testing) dan perawatan (treatment) atau 3T sangat rendah. Hal itu tentu membuat PPKM tak bisa berjalan dengan baik.

"Positivity rate kita diklaim menurun tapi tinggi sekali, tapi 3T kita enggak meningkat saat PPKM dilakukan. Kalau 3T tak meningkat bagaimana angka reproduksi turun?" kata dia.

Indikator kedua, kata dia, pemerintah maupun masyarakat tak memiliki konsistensi di lapangan dalam menerapkan kebijakan tersebut.

Ia pesimistis kebijakan bekerja dari rumah (WFH) bagi para pegawai sebesar 75 persen hingga penutupan rumah ibadah di zona merah di rumah akan efektif diterapkan.

Justru sebaliknya, aturan tersebut akan kontraproduktif yakni makin merusak perekonomian. Sebab, sebanyak 25 persen pegawai yang bekerja dari kantor bekerja di bawah ancaman wabah dan potensial tertular virus corona.

"Tapi faktanya komitmen pimpinan dalam menerapkan aturan ini lemah. Lemah banget. Enggak ada monitoring-nya. Jalanan tetap macet, kantor penuh. Banyak aturan tapi implementasinya jadi PR besar," kata dia.

Infografis - Zona Merah Indonesia dalam Sepekan Terakhir. (CNNIndonesia/Astari Kusumawardhani)

Lockdown Regional

Melihat persoalan tersebut, Dicky lantas menilai pembatasan kegiatan dalam kebijakan PPKM tak cukup. Ia berharap pemerintah mulai mengkaji opsi karantina wilayah atau kembali memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di area tertentu.

Ia juga menyatakan pemerintah tidak perlu melakukan PSBB di seluruh provinsi Indonesia. Terlebih, pemerintah melalui Satgas Covid-19 sampai saat ini menyatakan enggan untuk kembali menerapkan PSBB secara menyeluruh.

"Karena masalah udah besar, responnya udah harus besar. Bahasa Inggrisnya extraordinary respons harus diberikan pada extraordinary problem. Apalagi pemerintah sudah clear, berat melakukan lockdown. Oke tidak apa apa. Tapi aturan-aturan yang ada ini ya konsisten, dan benar-benar di pantau," kata dia.

Senada, Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra menilai pilihan logis untuk diterapkan pemerintah saat ini adalah lockdown regional berbasis pulau-pulau besar. Hal itu mesti dilakukan mengingat PPKM skala mikro sudah terbukti gagal untuk dilakukan.

"Kenapa lockdown regional? Karena kita enggak bisa lagi berharap dengan PPKM skala mikro, apakah istilahnya dipertebal atau yang lain. Istilah itu hanya bertujuan untuk melonggarkan aktivitas saja," kata Hermawan kepada CNNIndonesia.com.

Hermawan mengatakan pelaksanaan lockdown regional penting dilakukan untuk membatasi kegiatan masyarakat.

Mengingat, PPKM skala mikro, kata dia, hanya sekadar istilah untuk melonggarkan aktivitas masyarakat di tengah pandemi. Indikatornya, PPKM mikro masih memperbolehkan adanya aktivitas kegiatan masyarakat dengan syarat tertentu.

Ia pun mengakui kebijakan lockdown regional sangat berat untuk dilakukan pemerintah. Namun, hal itu harus dilakukan untuk menekan mahalnya biaya yang akan ditanggung pemerintah di kemudian hari. Bayangan keterpurukan semakin nyata, bila pemerintah tak berani mengambil keberanian mengambil langkah tegas.  

"Mau selamatkan ekonomi atau nyawa. Kalau tak mau [PSBB atau lockdown regional] itu tandanya kesehatan enggak lagi penting. Lihat lah negara-negara di dunia. Bandingkan dengan India. Artinya ini berkaitan dengan keberanian," kata Hermawan.

Hermawan menilai pemerintah saat ini masih berfikir dengan logika ekonomi ketimbang perspektif kesehatan ketika menerapkan PPKM skala mikro. Menurutnya, pemerintah harus berpihak pada kesehatan masyarakat terlebih dulu ketimbang aspek ekonomi.

"Kami dari awal kami dari perspektif kesehatan masyarakat tak mungkin memenangkan dua-duanya [ekonomi atau kesehatan]. Harus ada salah satu yang diprioritaskan. Kita enggak mau juga dua-duanya terpuruk," kata dia.

(rzr/ugo)


KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK