Krisis Parah Covid-19 dan 'Dua Matahari' di Tangan Jokowi
Sudah setahun lebih pandemi global Covid-19 berlangsung di Indonesia, sejak akhir Mei lalu kasus penularan baru semakin menanjak--yang disinyalir karena masuknya varian-varian virus corona.
Kondisi itu pun diperparah dengan makin menipisnya ketersediaan tempat tidur rumah sakit (Bed Occupancy Rate/BOR) dan persoalan kelangkaan oksigen tabung. Situasi dan kondisi itu pun kemudian sejalan dengan tingkat kematian akibat terpapar Covid yang semakin menanjak sejak pertengahan Juni hingga kini.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) bukannya tak mau diam. Ketika lonjakan kasus harian tembus 20 ribu, pada awal Juli ini dia mengumumkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) darurat Jawa-Bali. Jokowi menyatakan koordinasi PPKM darurat itu akan berada di bawah kendali Menko Marves Luhut B Pandjaitan.
Beberapa hari kemudian, diumumkan pula pelaksanaan PPKM Mikro yang diperpanjang di luar Jawa-Bali yang kendalinya dipegang Menko Perekonomian Airlangga Hartarto. Airlangga sendiri setidaknya sejak Juli 2020 memegang kendali puncak penanganan pandemi dan dampaknya sebagai Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN).
Sebelumnya, penanganan pandemi yang telah ditetapkan sebagai bencana nasional itu berada di bawah Gugus Tugas Covid yang dikoordinasikan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Setelah pucuk dipegang KPC-PEN, Gugus Tugas itu pun berubah jadi Satuan Tugas.
Terkait kondisi pandemi terkini, pada Selasa (6/7), Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon mengusulkan agar Jokowi langsung turun tangan untuk menjadi komando penanganan darurat Covid-19. Hal itu, dilakukan untuk menghilangkan perilaku asal bapak senang (ABS) atau mental bawahan yang doyan menyenangkan atasan dengan pamrih.
"Itulah kenapa saya usulkan Presiden langsung yang harusnya pimpin penanganan Covid 19 dalam situasi darurat ini," ujar Fadli lewat akun Twitter miliknya, @fadlizon, Selasa (6/7).
Menanggapi situasi di puncak pemerintahan tersebut, pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, menilai penunjukan sejumlah Menteri Koordinator untuk menjadi kepala dalam penanganan pandemi malah menjadi tak tepat sasaran lantaran tak sesuai dengan sektor permasalahan yang ditangani.
"Itulah lucunya di kita, mestinya Presiden mempercayakan kepada orang yang memang menjadi leading sector pekerjaannya. Agar profesionalitasnya bisa diuji dalam konteks penanganan pandemi," kata Ujang saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa malam.
Meskipun demikian, Ujang mencoba memahami alasan Jokowi menunjuk Luhut sebagai tangan kanan penanganan pandemi di Jawa Bali, dan tetap memberikan kepercayaan pada Airlangga. Menurut Ujang, Luhut memang merupakan tokoh yang dikenal dekat dengan orang nomor satu di negeri sejak periode pemerintahan 2014-2019 hingga kini.
Belum lagi, sikap Luhut yang selama ini dinilai keras dan bisa menekan kepala daerah agar mengikuti arah kebijakan pemerintah pusat menjadi faktor lain penunjukan mantan Jenderal bintang empat TNI tersebut.
Luhut, kata Ujang, tokoh yang dapat menutupi kekurangan Jokowi dalam memimpin penanganan pandemi di beberapa sektor lain.
"Luhut mungkin bisa menekan kepala daerah yang bandel dan lain sebagainya. Itu diperlukan dan dibutuhkan oleh Jokowi itu," ujar penulis buku Ideologi partai politik : Antara Kepentingan Partai dan Wong Cilik tersebut.
"Ya tadi, mestinya yang mencari orang mengerti persoalan corona. Tapi itulah, yang sekarang dibutuhkan Jokowi, yang dekat dengan dia bisa dipercaya dalam perspektif dia," tambahnya.
Merujuk pada perpres penataan tugas dan fungsi kementerian Kabinet Indonesia Maju, Jokowi dibantu empat menteri koordinator untuk membantu tugasnya membawahi kementerian/lembaga di dalam kabinetnya. Empat menko itu adalah Menko Polhukam Mahfud MD, Menko Marves Luhut B Pandjaitan, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, dan Menko PMK Muhadjir Effendy.
Menko Perekonomian membawahi Kemenkeu, Kemenaker, Kemenperin, Kemendag, Kementan, Kementian ATR/BPN, Kementerian BUMN, Kemenkop UKM, dan instansi lain yang dianggap perlu.
Menko Marves membawahi Kementerian ESDM, Kementerian PUPR, Kemenhub, KLHK, KKP, Kemenparek, Kementerian Investasi, dan instansi lain yang dianggap perlu.
Menko Polhukam membawahi Kemenlu, Kemenhan, Kemenkumham, Kemenkominfo, Kemenpan RB, Kejagung, TNI, Polri, dan instansi lain yang dianggap perlu.
Terakhir, Menko PMK membawahi Kementerian Kesehatan, Kemendikbudristek, Kemensos, Kementerian PDT, Kementerian PPPA, Kemenpora, dan instansi-instansi lain yang dianggap perlu.
Pemegang Tongkat Komando Penanganan Pandemi
Gonta-ganti tongkat komando untuk menangani pandemi pun dinilai membuat seolah pemerintah tak memiliki peta yang jelas untuk mengeluarkan Indonesia dari krisis Covid-19. Hal itu, kata Ujang, tersirat dari banyaknya kebijakan yang telah diambil para pemegang komando tersebut yang tiap kepala berbeda satu dengan lainnya.
"Inilah yang disebut kebijakan tidak komprehensif, tidak menyentuh semua persoalan," ucap dia, "Mungkin Jokowi sudah kerja keras, tapi kebijakannya itu tadi tidak tegas."
Penunjukan komando tersebut acapkali membuat sejumlah pernyataan Jokowi untuk menangani Covid-19 dengan isu kesehatan sebagai fokus utamanya menjadi buram.
Pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah menilai pemerintah tak dapat beradaptasi terhadap perubahan varian dalam penyebaran Covid-19 saat ini yang semakin beragam.
"Paling tidak, apa yang dilakukan pemerintah 1 tahun lebih ini membuat kita dapat bertahan. Hanya saja, ketika varian Covid-nya berubah banyak. Kita tidak mengubah, sistemnya masih sama, itu yang jadi masalah," ucap Trubus saat dihubungi.
Menurut dia, pemerintah selama ini dapat mengatasi permasalahan kesehatan dan ekonomi secara beriringan. Hal itu diperlihatkan dengan pengambilan kebijakan PSBB dan kini menjadi PPKM.
Indonesia, kata dia, tak mengalami kehancuran perekonomian yang terlampau parah patut menjadi catatan. Hanya saja, pemerintah memiliki banyak instrumen untuk dapat menyesuaikan arah kebijakan sesuai dengan kondisi yang terjadi.
Kondisi saat ini tentu berbeda dengan apa yang terjadi dengan pandemi saat baru mewabah di Indonesia.
"Pemerintah ini kelihatannya menghindari konsekuensi. PSBB konsekuensinya ekonomi bisa, tapi kalau milih karantina wilayah pemerintah harus bertanggungjawab atas masyarakat yang di karantina," jelasnya.
"Menurut saya, pemerintah mengevaluasi lagi kebijakan yang ada ini. Saya berharap, PPKM yang berlaku ini dilakukan secara lebih ketat mendekati karantina wilayah," tambah dia.
Halaman selanjutnya meniru kesuksesan negara lain: China, Singapura, Vietnam, atau AS.